Selasa, 05 April 2011

Kebijakan Fiskal dan Moneter Sektor Luar Negeri




Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara dan pengeluaran negara. Disamping pengaruh dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara.

Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara.

Di lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.

Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada besarnya surplus tersebut . Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah (prepayment).

Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibayai dengan pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman perbankan dan non-perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara (government bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri non-perbankan yang nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih tinggi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable).

Pada dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian. Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang impor, seperti halnya dengan sebagian besar pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi bila pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri, maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi. Dilain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan menimbulkan tekanan inflasi.

Adapun pembiayaan defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal pemerintah . Semakin besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik, lalu lintas modal Pemerintah cenderung positif. Adapun kinerja pemerintah dapat dilihat dari besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu lintas moneter yang positif menunjukkan adanya cash inflow.

Kebijakan moneter dan pengaruhnya terhadap perekonomian

Pada dasarnya, kebijaksanaan moneter ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah likuiditas dalam perekonomian ini dilakukan oleh bank sentral, melalui berbagai instrumen , khususnya open market operations (OMOs).

Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank sentral menjual atau membeli obligasi negara jangka panjang. Jika likuiditas dalam perekonomian dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral akan membeli sejumlah obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah, dan dilain pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam perekonomian, bank sentral akan menjual sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio bank sentral. Perlu difahami bahwa portofolio obligasi negara di bank sentral tersebut memberikan pendapatan kepada bank sentral berupa bunga obligasi.

Dalam kasus Indonesia, sampai saat ini Bank Indonesia belum memiliki obligasi negara yang dapat dipakai untuk OMO. Walaupun pemerintah Indonesia telah menerbitkan obligasi, yang dimulai pada masa krisis untuk rekapitalisasi bank-bank yang bermasalah, tetapi pasar sekunder bagi obligasi negara baru pada tahap awal dan volume transaksi jual beli di pasar sekunder tersebut masih sedikit. Selama ini Bank Indonesia masih mempergunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk melaksanakan OMOs. Disamping menimbulkan beban pada Bank Indonesia, karena BI harus membayar bunga SBI yang cukup tinggi, jangka waktu SBI juga sangat pendek, umumnya 1 (satu) bulan, sehingga instrumen ini sebenarnya kurang memadai untuk dipakai dalam OMOs.

Kebijakan Fiskal



Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat memengaruhi variabel-variabel berikut:

  • Permintaan agregat dan tingkat aktifitas ekonomi
  • Pola persebaran sumber daya
  • Distribusi pendapatan

Dari semua unsure APBN hanya pembelanjaan Negara atau pengeluaran dan Negara dan pajak yang dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan fiscal. Contoh kebijakan fiscal adalah apabila perekonomian nasional mengalami inflasi,pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran.



Tujuan kebijakan fiscal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi pemerintah (G), jumlah transfer pemerntah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatn nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N).

Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :

1. Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.

2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.

3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.




Sumber :

http://organisasi.org/definisi-pengertian-kebijakan-moneter-dan-kebijakan-fiskal-instrumen-serta-penjelasannya

http://id.shvoong.com/social-sciences/1997514-arti-dan-tujuan-kebijakan-fiskal/

http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_fiskal

Masalah Pokok dalam Pembangunan Indonesia



1. D. Pemerataan Pembangunan - Indonesia Timur

Pembangunan ekonomi nasional perlu mengedepankan aspek pemerataan dan tidak hanya fokus pada mengejar target pertumbuhan ekonomi (agregat). Tentunya, ketika pemerataan pembangunan ekonomi dapat dilakukan, maka sejumlah persoalan seperti disparitas regional, urbanisasi, kemiskinan, kesenjangan sosial dan persoalan sosial lainnya akan dapat lebih teratasi. Peranan infrastruktur transportasi dalam pemerataan pembangunan sangatlah penting. Jalan, jembatan, penerbangan perintis, pelabuhan dan transportasi laut berperan sangat strategis untuk memfasilitasi mobilisasi barang, modal dan manusia antar daerah-pulau di wilayah Indonesia. Bagaimana menggeser paradigma pembanguanan nasional yang menitikberatkan kawasan Barat menuju Tengah dan Timur Indonesia menjadi prioritas dalam pemerataan pembangunan ekonomi nasional.

Urgensi pemerataan pembangunan ke seluruh penjuru Nusantara sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir ini telah semakin menguatkan sinyalnya. Bahkan di kawasan Barat Indonesia persoalan konektivitas masih berlangsung. Sebagai sebuah contoh aktual, antrean truk yang ingin menyeberang ke Pulau Sumatra mengular sudah hampir seminggu lamanya hingga sepanjang 2,5 kilometer di Tol Merak, Banten, menuju ke pintu gerbang pelabuhan. Berdasarkan informasi dari PT ASDP, antrean truk menuju Pelabuhan Merak tersebut disebabkan karena sedikitnya kapal pengangkut dan terbatasnya kapasitas pelabuhan untuk menampung antrean kendaraan angkutan.

Sementara itu, kemacetan sesungguhnya merupakan pemandangan rutin yang menghiasi seluruh jalan di Jakarta setiap pagi dan petang hari. Menurut sensus penduduk tahun 2010, Jakarta telah dihuni oleh 9.588.198 penduduk. Angka ini naik sangat drastis dari data tahun 2007 yang sebesar 7.552.444. Banyaknya pelaju dari Depok, Bekasi, Tangerang, Bogor, dan bahkan dari Cirebon yang bekerja di Jakarta menambah parahnya kemacetan di Ibu Kota. Kenyataan ini kian menguatkan betapa kuatnya gravitasi perekonomian Jakarta.

Secara sederhana, tingkat pembangunan di sebuah daerah berhubungan positif dengan akselerasi permintaan akan pembangunan lebih lanjut di daerah tersebut. Misalnya, gagasan pembangunan jalan Tol Tanjung Priok-Cikarang (Tanjung Karang) yang diprediksi bakal mampu mengurai kemacetan Jakarta hingga 30 persen. Sementara itu, jalur kereta api di Sumatra nyaris tak tersentuh peta transportasi nasional.

Akibatnya, daerah dengan tingkat pembangunan yang tinggi akan terus menuntut pembangunan lebih lanjut, sementara daerah yang tertinggal juga akan semakin tertinggal. Daerah-daerah satelit di sekeliling Jakarta selama ini tumbuh hanya sebagai wilayah domisili semata yang tidak diimbangi dengan pelebaran aktifitas perekonomian secara memadai. Pemusatan aktifitas perekonomian di Jakarta pun kian lama kian meningkatkan daya akumulasi sumberdaya perekonomian secara terkonsentrasi. Apabila konsentrasi sumberdaya ini semakin tinggi, maka biaya kesempatan untuk melakukan aktifitas perekonomian di luar Jakarta pun akan semakin meningkat.

Pada tataran nasional, potret Jakarta dan kota-kota satelitnya pun masih tercermin dengan jelas. Tak bisa dipungkiri bahwa kekuatan gravitasi ekonomi Jawa-Sumatra-Bali merupakan penyebab utama segala permasalahan tersebut. Hingga tahun 2005, BPS mencatat bahwa Pulau Jawa-Bali masih menyumbang 60.09 persen terhadap PDB Nasional. Adapun Sumatra 22,1 persen, Kalimantan 9,11 persen, Sulawesi 3,93 persen, Nusa Tenggara 1,42 persen, dan Papua 1,59 persen. Pada tahun 2010, kontribusi PDRB Jawa-Bali terhadap PDB nasional hanya turun dengan sangat tipis menjadi 59,38 persen, sementara peningkatan secara tipis juga tercatat pada Sulawesi menjadi 4,49 persen, Kalimantan 9,23 persen, Nusa Tenggara 1,44 persen, dan Papua 1,77 persen.

Namun demikian, data menunjukkan bahwa pos pendapatan daerah meningkat signifikan hanya di pos bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam (SDA). Perlu menjadi sebuah "early warning" dalam hal ini, yaitu apakah gravitasi ekonomi daerah ini menguat semata-mata karena intensifikasi eksploitasi SDA daerah ataukah karena kreatifitas yang mulai mewujud? Upaya menggenjot pendapatan melalui eksploitasi SDA, sebagaimana mewarnai perekonomian era Orde Baru, sudah tak layak lagi ditempuh. Sejumlah negara maju memberikan contoh yang baik bagaimana negara mereka dikembangkan melalui kebijakan industrialisasi yang bertahap dan terarah.

Sejalan dengan diskusi sebelumnya, kita perlu secara konsisten berupaya untuk membangun magnet-magnet perekonomian lain di daerah luar Jawa dan Sumatra. Magnet yang apabila dianalogikan dalam ilmu fisika selayaknya merupakan kumparan elektromagnetik yang digerakkan oleh pelaku-pelaku ekonomi daerah, dan bukan semata-mata mengandalkan kekayaan alam tanpah pengolahan. Dengan demikian, momentum peningkatan kontribusi PDRB luar Jawa-Sumatra-Bali terhadap PDB Nasional, setipis apapun itu, dapat dipandang sebagai secercah harapan bahwa potensi perekonomian daerah perlu dirorong untuk lebih berkembang. Hal ini juga dapat menjadi pencetus penguatan gaya gravitasi riil ekonomi daerah-daerah di luar Jawa-Sumatra-Bali.

Di samping pembangunan magnet-magnet perekonomian di daerah luar Jawa dan Sumatra, pembangunan konektivitas antar-wilayah domestik dalam menumbuhkan daya saing dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi merupakan langkah yang patut mendapat dukungan. Tujuan konektivitas domestik adalah mempercepat pertumbuhan perekonomian dan memperkecil disparitas antar-wilayah. Pembangunan magnet perekonomian di luar Jawa dan Sumatra dapat menjadi "pull factor" di daerah yang secara simultan bersinergi dengan konektivitas antar-wilayah sebagai katalis "push factor" dari Jawa-Bali.

Ketika berbicara masalah daya saing, selain infrastruktur, peningkatan kualitas tenaga kerja jelas berperan penting. Secara implisit namun tegas, hal ini merupakan amanat bagi kita semua bahwa perekonomian kita tidak boleh lagi menggantungkan diri pada kekayaan alam, serta harus dikelola berdasarkan daya kreatifitas dan penciptaan nilai tambah.

Pengembangan magnet perekonomian, konektivitas domestik, dan proses transformasi struktural dalam penciptaan nilai tambah harus didasarkan pada reorientasi kenyataan geografis Indonesia. Pembangunan jembatan Ampera di Sungai Musi sejatinya merupakan sebuah penanda betapa perekonomian Indonesia jauh-jauh hari telah diarahkan kepada perekonomian maritim. Dengan demikian, salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah agar upaya mewujudkan rencana-rencana di atas dilandaskan pada kesadaran bahwa Indonesia merupakan untaian kekayaan sumber daya alam dan ketahanan sumber daya manusia yang dihubungkan oleh lautan dangkal yang terkaya dan terluas di dunia. Oleh karena itu, mempercepat realisasi program konektivitas di dalam dan antar-pulau akan membuat kawasan Tengah dan Timur Indonesia akan lebih berkembang.


Sumber: google

Masalah Pokok dalam Pembangunan Indonesia




1. C. Iklim dan Geografis


Geografi Indonesia
Indonesia memiliki sekitar 17.504 pulau (menurut data tahun 2004; lihat pula: jumlah pulau di Indonesia), sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni tetap, menyebar sekitar katulistiwa, memberikan cuaca tropis. Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana lebih dari setengah (65%) populasi Indonesia. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya dan rangkaian pulau-pulau ini disebut pula sebagai kepulauan Nusantara atau kepulauan Indonesia.

Peta garis kepulauan Indonesia, Deposit oleh Republik Indonesia pada daftar titik-titik koordinat geografis berdasarkan pasal 47, ayat 9, dari Konvensi PBB tentang Hukum Laut [2][3]
Indonesia memiliki lebih dari 400 gunung berapi and 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif. Sebagian dari gunung berapi terletak di dasar laut dan tidak terlihat dari permukaan laut. Indonesia merupakan tempat pertemuan 2 rangkaian gunung berapi aktif (Ring of Fire). Terdapat puluhan patahan aktif di wilayah Indonesia.

Keadaan alam
Sebagian ahli membagi Indonesia atas tiga wilayah geografis utama yakni:
• Kepulauan Sunda Besar meliputi pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi.
• Kepulauan Sunda Kecil meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
• Kepulauan Maluku dan Irian
Pada zaman es terakhir, sebelum tahun 10.000 SM (Sebelum Masehi), pada bagian barat Indonesia terdapat daratan Sunda yang terhubung ke benua Asia dan memungkinkan fauna dan flora Asia berpindah ke bagian barat Indonesia. Di bagian timur Indonesia, terdapat daratan Sahul yang terhubung ke benua Australia dan memungkinkan fauna dan flora Australia berpindah ke bagian timur Indonesia. Pada bagian tengah terdapat pulau-pulau yang terpisah dari kedua benua tersebut.
Karena hal tersebut maka ahli biogeografi membagi Indonesia atas kehidupan flora dan fauna yakni:
• Daratan Indonesia Bagian Barat dengan flora dan fauna yang sama dengan benua Asia.
• Daratan Indonesia Bagian Tengah (Wallacea) dengan flora dan fauna endemik/hanya terdapat pada daerah tersebut.
• Daratan Indonesia Bagian Timur dengan flora dan fauna yang sama dengan benua Australia.
Ketiga bagian daratan tersebut dipisahkan oleh garis maya/imajiner yang dikenal sebagai Garis Wallace-Weber, yaitu garis maya yang memisahkan Daratan Indonesia Barat dengan daerah Wallacea (Indonesia Tengah), dan Garis Lyedekker, yaitu garis maya yang memisahkan daerah Wallacea (Indonesia Tengah) dengan daerah IndonesiaTimur.

Berdasarkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, maka wilayah Indonesia dibagi menjadi 2 kawasan pembangunan:
• Kawasan Barat Indonesia. Terdiri dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali.
• Kawasan Timur Indonesia. Terdiri dari Sulawesi, Maluku, Irian/Papua, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Iklim

Indonesia mempunyai iklim tropik basah yang dipengaruhi oleh angin monsun barat dan monsun timur. Dari bulan November hingga Mei, angin bertiup dari arah Utara Barat Laut membawa banyak uap air dan hujan di kawasan Indonesia; dari Juni hingga Oktober angin bertiup dari Selatan Tenggara kering, membawa sedikit uap air. Suhu udara di dataran rendah Indonesia berkisar antara 23 derajat Celsius sampai 28 derajat Celsius sepanjang tahun.
Namun suhu juga sangat bevariasi; dari rata-rata mendekati 40 derajat Celsius pada musim kemarau di lembah Palu - Sulawesi dan di pulau Timor sampai di bawah 0 derajat Celsius di Pegunungan Jayawijaya - Irian. Terdapat salju abadi di puncak-puncak pegunungan di Irian: Puncak Trikora (Mt. Wilhelmina - 4730 m) dan Puncak Jaya (Mt. Carstenz, 5030 m).

Ada 2 musim di Indonesia yaitu musim hujan dan musim kemarau, pada beberapa tempat dikenal musim pancaroba, yaitu musim diantara perubahan kedua musim tersebut.
Curah hujan di Indonesia rata-rata 1.600 milimeter setahun, namun juga sangat bervariasi; dari lebih dari 7000 milimeter setahun sampai sekitar 500 milimeter setahun di daerah Palu dan Timor. Daerah yang curah hujannya rata-rata tinggi sepanjang tahun adalah Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, sebagian Jawa barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Maluku Utara dan delta Mamberamo di Irian.
Setiap 3 sampai 5 tahun sekali sering terjadi El-Nino yaitu gejala penyimpangan cuaca yang menyebabkan musim kering yang panjang dan musim hujan yang singkat. Setelah El Nino biasanya diikuti oleh La Nina yang berakibat musim hujan yang lebat dan lebih panjang dari biasanya. Kekuatan El Nino berbeda-beda tergantung dari berbagai macam faktor, antara lain indeks Osilasi selatan atau Southern Oscillation.


Sumber : wikipedia

Masalah Pokok dalam Pembangunan Indonesia



1. B. Penduduk dan Kemiskinan

Populasi penduduk dunia saat ini telah mencapai 6,5 miliar jiwa. Jumlah tersebut akan terus bertambah mengingat setiap detik lahir 4,4 bayi. Menurut perkiraan, penduduk dunia pada tahun 2050 diperkirakan mencapai angka 9 miliar (Global Demographic Divide; Mary Kent, 2006).

Saat ini, hampir separuh penduduk dunia tinggal di perkotaan. Berdasarkan laporan Divisi Kependudukan Dewan Ekonomi dan Sosial (Ecosoc) PBB (2006), hingga tahun 2005, sekira49% atau 3,2 miliar penduduk dunia tinggal di wilayah perkotaan. Penduduk perkotaan rata-rata meningkat setiap tahunnya sebesar 3.54%. Pada tahun 1950, penduduk dunia yang tinggal di perkotaan hanya 29%, tahun 1970 (35,9%), 1990 (43%) dan pada tahun 2000 sekira 46,7%. Dengan asumsi rata-rata pertumbuhan penduduk 1,8% per tahun, pada tahun 2030 jumlah penduduk perkotaan di dunia diperkirakan akan mencapai 4,9 miliar atau sekira 60% dari jumlah penduduk dunia.

Keadaan di Indonesia tidak jauh berbeda. Pada tahun 2005, penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan telah mencapai 107 juta atau sebesar 48,1% dari seluruh penduduk Indonesia. Angka tersebut cukup fantastis, mengingat dalam waktu 55 tahun hampir separuh penduduk Indonesia menempati wilayah perkotaan. Padahal, pada tahun 1950 hanya seperdelapan atau sekira 12,4% penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan.

Pertumbuhan penduduk perkotaan biasanya akan diikuti pertumbuhan daerah padat kumuh. Berdasarkan laporan UN-Habitat (badan PBB untuk masalah kependudukan), penduduk di kawasan padat kumuh selama 15 tahun terakhir mengalami pertumbuhan cepat. Pada tahun 1990, penduduk kawasan padat kumuh di dunia sekira 715 juta jiwa. Pada tahun 2000 bertambah menjadi sekira 912 juta jiwa. Sampai dengan tahun 2005, terdapat hampir 1 miliar penduduk perkotaan di dunia yang tinggal di kawasan padat kumuh. Pada tahun 2020, UN-Habitat memperkirakan sekira 1,4 miliar penduduk di wilayah perkotaan di dunia, akan menempati kawasan padat kumuh.

Pemukiman padat dan kumuh juga ditemui di kota-kota di Indonesia. Pada tahun 2001, UN-Habitat memperkirakan proporsi penduduk Indonesia yang tinggal di daerah padat kumuh sebesar 23%, yaitu sekira 21 juta jiwa dari keseluruhan penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan. Pada tahun 2005, sebagaimana dikutip Antara, sekira 21,25 juta penduduk atau 18% dari 120 juta jiwa di wilayah perkotaan, tinggal di kawasan padat kumuh.

Pada peringatan Hari Habitat Nasional 2006, Kementerian Negara Perumahan Rakyat memperkirakan sekira 10 kota di Indonesia memiliki beban kawasan pemukiman kumuh, yaitu Jakarta, Medan, Semarang, Bandung, Batam, Palembang, Makassar, Banjarmasin, Surabaya, dan Yogyakarta. Jakarta Pusat misalnya, 30% wilayahnya dinyatakan sebagai kawasan kumuh. Sementara, Kota Bandung, berdasarkan laporan Bank Dunia (2002), pada tahun 1999, 44% dari total kelurahan adalah area permukiman kumuh. Luasan kawasan padat kumuh dan jumlah penduduk yang tinggal di kawasan tersebut akan terus mengalami peningkatan seiring kenaikan populasi di perkotaan.

Menjamurnya kawasan padat kumuh di wilayah perkotaan dinilai Bank Dunia dan UN-Habitat sebagai dampak dari ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola pemerintahannya. Laporan World Bank dan UN-Habitat menegaskan pertumbuhan kawasan padat kumuh di perkotaan dipicu oleh kebijakan yang salah, banyaknya korupsi, buruknya pemerintahan, tidak tepatnya regulasi, dan tidak adanya keinginan politik dari pemerintah.
Kecenderungan pertumbuhan penduduk di wilayah perkotaan, perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak. Ada hal penting yang harus diperhatikan; Pertama, kecenderungan pertumbuhan penduduk di perkotaan dikhawatirkan menimbulkan the big bang of urban poverty, yaitu ledakan kemiskinan di wilayah perkotaan.

Kedua, kawasan kumuh-padat dan kemiskinan di perkotaan dikhawatirkan dapat menyuburkan kriminalitas. Temuan M. Davis dari hasil kajiannya di berbagai kota, terutama di Amerika Latin, yang dirangkum Planet of the Slum menjelaskan, daerah slum dan squater yang tidak diurus pemerintah, justru diorganisasi secara informal oleh organisasi ”bawah tanah”, mafia dan ”organisasi” kejahatan lainnya.

Di republik yang telah merdeka lebih dari setengah abad ini, dua problem utama belum bisa dibereskan: kemiskinan dan pengangguran. Jumlah rakyat miskin per Maret 2008 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen) atau turun dari angka pada Maret 2007 sebesar 37,17 juta orang (16,58 persen) (Data Susenas BPS Maret 2008). Data ini diperoleh sebelum pemerintah menaikkan harga BBM rata-rata 28,7 persen pada Mei 2008, yang diperkirakan menambah angka kemiskinan hingga 8,5 persen.

Dalam kriteria yang lebih ketat, penduduk miskin Indonesia menurut World Bank mencapai 108.7 juta orang (49%) (Data World Bank 2006). Perbedaan jumlah ini muncul dari perbedaan alat ukur dan cara menghitung. BPS menggunakan kriteria yang lebih longgar. Menurut BPS, penduduk miskin adalah mereka yang rata-rata penghasilannya di bawah standar pemenuhan kebutuhan dasar kalori minimal 2.100 kkal (kilo kalori) atau sekitar Rp 152.847 per kapita per bulan. Sementara World Bank menggunakan standar internasional: penduduk miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran per hari sebesar US$2 atau kurang.

Angka pengangguran juga belum bisa ditekan. Menurut BPS, jumlah pengangguran terbuka per Februari 2008 mencapai 9.4 juta (8.5 persen) dari 111,46 juta angkatan kerja (Data Sakernas BPS Februari 2008). Jumlah ini lebih dua kali lipat dari penduduk Singapura yang sekitar 4 juta. Memang, dibandingkan data survei Sakernas BPS pada Februari 2007, jumlah ini turun 1,1 juta orang dari jumlah pengangguran sebelumnya yang mencapai 10.55 juta (9.75 persen). Klaim penurunan ini dipertanyakan para ahli, sebab pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bertumpu pada sektor padat karya (labour intensive) yang menyerap banyak tenaga kerja seperti pertanian dan perkebunan, tetapi memusat di sektor konsumsi, sektor nonperdagangan, dan sektor-sektor padat modal seperti telekomunikasi dan pasar modal. Klaim ini juga berasal dari definisi kerja dan pengangguran yang terlalu longgar dari BPS.

Menurut BPS, pengangguran adalah orang yang bekerja kurang dari 1 jam dalam 1 minggu. Mereka yang bekerja 1 jam atau lebih dalam 1 minggu tidak bisa digolongkan sebagai menganggur, meskipun hasil pekerjaannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Negara lain umumnya menggunakan ukuran minimal 15 jam seminggu untuk tidak dianggap sebagai menganggur. Tidak heran, menurut survei Sakernas, jumlah setengah pengangguran meningkat dari 27,9 juta pada 2004 menjadi 30,6 juta orang bulan Februari 2008. Dari klaim pertumbuhan sebesar 6,3 persen, tertinggi selama 10 tahun terakhir, penyerapan tenaga kerjanya relatif rendah. Struktur ketenagakerjaan menunjukkan sektor informal menyerap 69 persen angkatan kerja dan hanya 31 persen yang terserap di sektor formal. Dari 9,4 juta kategori pengangguran terbuka, 4,5 juta di antaranya berasal dari lulusan SMA, SMK, diploma, dan universitas. (Dari berbagai sumber)


Sumber : Akatiga (pusat analisis sosial)

Masalah Pokok dalam Pembangunan Indonesia





1. A. Dualisme Kepemimpinan / Peraturan

Pemimpin adalah salah satu unsur dari sebuah sistem. Unsur lainnya adalah peraturan dan ketaatan. Peraturan dalam konteks sistem non-manusia adalah Standard Operating Procedure (SOP). Ruang lingkup sebuah sistem bisa bervariasi. Sistem metabolisme sebuah virus bisa jadi adalah sebuah sistem terkecil. Ataukah ada yang lebih kecil dari itu. Sistem galaksi bisa dikatakan yang terbesar. Mungkinkah ada yang lebih agung darinya. Sebuah sistem bisa jadi merupakan subsistem dari sistem lainnya. Di sisi lain, sebuah sistem bisa menjadi sebuah supersistem dari sebagian sistem lainnya.


Berbicara tentang sistem memang tidak akan pernah ada habisnya. Tentang pemimpin saja sebagai satu unsur dari sebuah sistem diperlukan kajian yang luas dan mendalam. Tapi hal ini tentunya tidak boleh menyurutkan semangat kita. Karena pada prinsipnya, jika tidak bisa mengambil semuanya, maka janganlah tinggalkan semuanya.

Kali ini, saya ingin mengungkapkan perasaan dan pemikiran tentang dualisme kepemimpinan. Idealnya, dalam sebuah sistem hanya ada seorang pemimpin. Karena pemimpin inilah yang bertanggung jawab memastikan jalannya sistem tetap pada koridornya. Dialah yang mengarahkan pengikut mengarah ke tujuan. Lantas, bagaimana jika dalam sebuah sistem terdapat dua pemimpin? Hal ini tidak bisa diterima. Karena dua pemimpin berarti dua pemikiran yang akan mengarahkan pengikut ke dua tujuan. Dan hal ini tidak boleh terjadi dalam sebuah sistem yang baik.

Apa jadinya jika Tuhan memiliki kuantitas lebih dari satu? Tentu sistem kehidupan akan bergejolak, mempertahankan arah masing-masing. Apa yang terjadi jika dalam sebuah rumah tangga, suami dan istri sama-sama merasa jadi pemimpin? Mau dibawa kemanakah bahtera rumah tangga? Lihat saja apa yang terjadi pada sebuah partai politik yang saat ini terpecah menjadi dua kubu, karena keduanya mempertahankan pemimpin masing-masing. Contoh yang lain, ah, terlalu banyak contoh kasus dualisme kepemimpinan. Beginilah jika setiap orang keukeuh mempertahankan kepemimpinannya ketika bukan saatnya menjadi pemimpin. Kita sepakat, bahwa setiap diri adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Minimal pemimpin bagi diri sendiri. Tapi dalam lingkup kehidupan sosial, kita harus pandai menempatkan posisi yang tepat pada waktu yang tepat. Kita tidak akan mungkin selamanya menjadi pemimpin. Ada saatnya kita menjadi yang dipimpin.

Kepemimpinan itu sebuah hierarki. Dia bertingkat. Seorang pemimpin pasti memiki pemimpin. Kondisi inilah yang saat ini sering tidak kita pahami. Di saat seharusnya menjadi pengikut, ego pribadi menuntut diri untuk menjadi pemimpin. Di saat harus memimpin, keyakinan diri mengkerut sehingga hilanglah kewibawaan. Ketika momentum itu tidak kita pahami, maka terjadilah fenomena dualisme kepemimpinan. Ah, kita memang harus lebih banyak belajar. Kapan saatnya menjadi pemimpin, bila waktunya menjadi yang dipimpin.



Sumber : wikipedia