Selasa, 05 April 2011

Kebijakan Fiskal dan Moneter Sektor Luar Negeri




Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara dan pengeluaran negara. Disamping pengaruh dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara.

Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara.

Di lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.

Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada besarnya surplus tersebut . Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah (prepayment).

Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibayai dengan pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman perbankan dan non-perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara (government bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri non-perbankan yang nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih tinggi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable).

Pada dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian. Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang impor, seperti halnya dengan sebagian besar pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi bila pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri, maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi. Dilain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan menimbulkan tekanan inflasi.

Adapun pembiayaan defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal pemerintah . Semakin besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik, lalu lintas modal Pemerintah cenderung positif. Adapun kinerja pemerintah dapat dilihat dari besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu lintas moneter yang positif menunjukkan adanya cash inflow.

Kebijakan moneter dan pengaruhnya terhadap perekonomian

Pada dasarnya, kebijaksanaan moneter ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah likuiditas dalam perekonomian ini dilakukan oleh bank sentral, melalui berbagai instrumen , khususnya open market operations (OMOs).

Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank sentral menjual atau membeli obligasi negara jangka panjang. Jika likuiditas dalam perekonomian dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral akan membeli sejumlah obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah, dan dilain pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam perekonomian, bank sentral akan menjual sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio bank sentral. Perlu difahami bahwa portofolio obligasi negara di bank sentral tersebut memberikan pendapatan kepada bank sentral berupa bunga obligasi.

Dalam kasus Indonesia, sampai saat ini Bank Indonesia belum memiliki obligasi negara yang dapat dipakai untuk OMO. Walaupun pemerintah Indonesia telah menerbitkan obligasi, yang dimulai pada masa krisis untuk rekapitalisasi bank-bank yang bermasalah, tetapi pasar sekunder bagi obligasi negara baru pada tahap awal dan volume transaksi jual beli di pasar sekunder tersebut masih sedikit. Selama ini Bank Indonesia masih mempergunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk melaksanakan OMOs. Disamping menimbulkan beban pada Bank Indonesia, karena BI harus membayar bunga SBI yang cukup tinggi, jangka waktu SBI juga sangat pendek, umumnya 1 (satu) bulan, sehingga instrumen ini sebenarnya kurang memadai untuk dipakai dalam OMOs.

Kebijakan Fiskal



Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat memengaruhi variabel-variabel berikut:

  • Permintaan agregat dan tingkat aktifitas ekonomi
  • Pola persebaran sumber daya
  • Distribusi pendapatan

Dari semua unsure APBN hanya pembelanjaan Negara atau pengeluaran dan Negara dan pajak yang dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan fiscal. Contoh kebijakan fiscal adalah apabila perekonomian nasional mengalami inflasi,pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran.



Tujuan kebijakan fiscal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi pemerintah (G), jumlah transfer pemerntah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatn nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N).

Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :

1. Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.

2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.

3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.




Sumber :

http://organisasi.org/definisi-pengertian-kebijakan-moneter-dan-kebijakan-fiskal-instrumen-serta-penjelasannya

http://id.shvoong.com/social-sciences/1997514-arti-dan-tujuan-kebijakan-fiskal/

http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_fiskal

Masalah Pokok dalam Pembangunan Indonesia



1. D. Pemerataan Pembangunan - Indonesia Timur

Pembangunan ekonomi nasional perlu mengedepankan aspek pemerataan dan tidak hanya fokus pada mengejar target pertumbuhan ekonomi (agregat). Tentunya, ketika pemerataan pembangunan ekonomi dapat dilakukan, maka sejumlah persoalan seperti disparitas regional, urbanisasi, kemiskinan, kesenjangan sosial dan persoalan sosial lainnya akan dapat lebih teratasi. Peranan infrastruktur transportasi dalam pemerataan pembangunan sangatlah penting. Jalan, jembatan, penerbangan perintis, pelabuhan dan transportasi laut berperan sangat strategis untuk memfasilitasi mobilisasi barang, modal dan manusia antar daerah-pulau di wilayah Indonesia. Bagaimana menggeser paradigma pembanguanan nasional yang menitikberatkan kawasan Barat menuju Tengah dan Timur Indonesia menjadi prioritas dalam pemerataan pembangunan ekonomi nasional.

Urgensi pemerataan pembangunan ke seluruh penjuru Nusantara sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir ini telah semakin menguatkan sinyalnya. Bahkan di kawasan Barat Indonesia persoalan konektivitas masih berlangsung. Sebagai sebuah contoh aktual, antrean truk yang ingin menyeberang ke Pulau Sumatra mengular sudah hampir seminggu lamanya hingga sepanjang 2,5 kilometer di Tol Merak, Banten, menuju ke pintu gerbang pelabuhan. Berdasarkan informasi dari PT ASDP, antrean truk menuju Pelabuhan Merak tersebut disebabkan karena sedikitnya kapal pengangkut dan terbatasnya kapasitas pelabuhan untuk menampung antrean kendaraan angkutan.

Sementara itu, kemacetan sesungguhnya merupakan pemandangan rutin yang menghiasi seluruh jalan di Jakarta setiap pagi dan petang hari. Menurut sensus penduduk tahun 2010, Jakarta telah dihuni oleh 9.588.198 penduduk. Angka ini naik sangat drastis dari data tahun 2007 yang sebesar 7.552.444. Banyaknya pelaju dari Depok, Bekasi, Tangerang, Bogor, dan bahkan dari Cirebon yang bekerja di Jakarta menambah parahnya kemacetan di Ibu Kota. Kenyataan ini kian menguatkan betapa kuatnya gravitasi perekonomian Jakarta.

Secara sederhana, tingkat pembangunan di sebuah daerah berhubungan positif dengan akselerasi permintaan akan pembangunan lebih lanjut di daerah tersebut. Misalnya, gagasan pembangunan jalan Tol Tanjung Priok-Cikarang (Tanjung Karang) yang diprediksi bakal mampu mengurai kemacetan Jakarta hingga 30 persen. Sementara itu, jalur kereta api di Sumatra nyaris tak tersentuh peta transportasi nasional.

Akibatnya, daerah dengan tingkat pembangunan yang tinggi akan terus menuntut pembangunan lebih lanjut, sementara daerah yang tertinggal juga akan semakin tertinggal. Daerah-daerah satelit di sekeliling Jakarta selama ini tumbuh hanya sebagai wilayah domisili semata yang tidak diimbangi dengan pelebaran aktifitas perekonomian secara memadai. Pemusatan aktifitas perekonomian di Jakarta pun kian lama kian meningkatkan daya akumulasi sumberdaya perekonomian secara terkonsentrasi. Apabila konsentrasi sumberdaya ini semakin tinggi, maka biaya kesempatan untuk melakukan aktifitas perekonomian di luar Jakarta pun akan semakin meningkat.

Pada tataran nasional, potret Jakarta dan kota-kota satelitnya pun masih tercermin dengan jelas. Tak bisa dipungkiri bahwa kekuatan gravitasi ekonomi Jawa-Sumatra-Bali merupakan penyebab utama segala permasalahan tersebut. Hingga tahun 2005, BPS mencatat bahwa Pulau Jawa-Bali masih menyumbang 60.09 persen terhadap PDB Nasional. Adapun Sumatra 22,1 persen, Kalimantan 9,11 persen, Sulawesi 3,93 persen, Nusa Tenggara 1,42 persen, dan Papua 1,59 persen. Pada tahun 2010, kontribusi PDRB Jawa-Bali terhadap PDB nasional hanya turun dengan sangat tipis menjadi 59,38 persen, sementara peningkatan secara tipis juga tercatat pada Sulawesi menjadi 4,49 persen, Kalimantan 9,23 persen, Nusa Tenggara 1,44 persen, dan Papua 1,77 persen.

Namun demikian, data menunjukkan bahwa pos pendapatan daerah meningkat signifikan hanya di pos bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam (SDA). Perlu menjadi sebuah "early warning" dalam hal ini, yaitu apakah gravitasi ekonomi daerah ini menguat semata-mata karena intensifikasi eksploitasi SDA daerah ataukah karena kreatifitas yang mulai mewujud? Upaya menggenjot pendapatan melalui eksploitasi SDA, sebagaimana mewarnai perekonomian era Orde Baru, sudah tak layak lagi ditempuh. Sejumlah negara maju memberikan contoh yang baik bagaimana negara mereka dikembangkan melalui kebijakan industrialisasi yang bertahap dan terarah.

Sejalan dengan diskusi sebelumnya, kita perlu secara konsisten berupaya untuk membangun magnet-magnet perekonomian lain di daerah luar Jawa dan Sumatra. Magnet yang apabila dianalogikan dalam ilmu fisika selayaknya merupakan kumparan elektromagnetik yang digerakkan oleh pelaku-pelaku ekonomi daerah, dan bukan semata-mata mengandalkan kekayaan alam tanpah pengolahan. Dengan demikian, momentum peningkatan kontribusi PDRB luar Jawa-Sumatra-Bali terhadap PDB Nasional, setipis apapun itu, dapat dipandang sebagai secercah harapan bahwa potensi perekonomian daerah perlu dirorong untuk lebih berkembang. Hal ini juga dapat menjadi pencetus penguatan gaya gravitasi riil ekonomi daerah-daerah di luar Jawa-Sumatra-Bali.

Di samping pembangunan magnet-magnet perekonomian di daerah luar Jawa dan Sumatra, pembangunan konektivitas antar-wilayah domestik dalam menumbuhkan daya saing dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi merupakan langkah yang patut mendapat dukungan. Tujuan konektivitas domestik adalah mempercepat pertumbuhan perekonomian dan memperkecil disparitas antar-wilayah. Pembangunan magnet perekonomian di luar Jawa dan Sumatra dapat menjadi "pull factor" di daerah yang secara simultan bersinergi dengan konektivitas antar-wilayah sebagai katalis "push factor" dari Jawa-Bali.

Ketika berbicara masalah daya saing, selain infrastruktur, peningkatan kualitas tenaga kerja jelas berperan penting. Secara implisit namun tegas, hal ini merupakan amanat bagi kita semua bahwa perekonomian kita tidak boleh lagi menggantungkan diri pada kekayaan alam, serta harus dikelola berdasarkan daya kreatifitas dan penciptaan nilai tambah.

Pengembangan magnet perekonomian, konektivitas domestik, dan proses transformasi struktural dalam penciptaan nilai tambah harus didasarkan pada reorientasi kenyataan geografis Indonesia. Pembangunan jembatan Ampera di Sungai Musi sejatinya merupakan sebuah penanda betapa perekonomian Indonesia jauh-jauh hari telah diarahkan kepada perekonomian maritim. Dengan demikian, salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah agar upaya mewujudkan rencana-rencana di atas dilandaskan pada kesadaran bahwa Indonesia merupakan untaian kekayaan sumber daya alam dan ketahanan sumber daya manusia yang dihubungkan oleh lautan dangkal yang terkaya dan terluas di dunia. Oleh karena itu, mempercepat realisasi program konektivitas di dalam dan antar-pulau akan membuat kawasan Tengah dan Timur Indonesia akan lebih berkembang.


Sumber: google

Masalah Pokok dalam Pembangunan Indonesia




1. C. Iklim dan Geografis


Geografi Indonesia
Indonesia memiliki sekitar 17.504 pulau (menurut data tahun 2004; lihat pula: jumlah pulau di Indonesia), sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni tetap, menyebar sekitar katulistiwa, memberikan cuaca tropis. Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana lebih dari setengah (65%) populasi Indonesia. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya dan rangkaian pulau-pulau ini disebut pula sebagai kepulauan Nusantara atau kepulauan Indonesia.

Peta garis kepulauan Indonesia, Deposit oleh Republik Indonesia pada daftar titik-titik koordinat geografis berdasarkan pasal 47, ayat 9, dari Konvensi PBB tentang Hukum Laut [2][3]
Indonesia memiliki lebih dari 400 gunung berapi and 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif. Sebagian dari gunung berapi terletak di dasar laut dan tidak terlihat dari permukaan laut. Indonesia merupakan tempat pertemuan 2 rangkaian gunung berapi aktif (Ring of Fire). Terdapat puluhan patahan aktif di wilayah Indonesia.

Keadaan alam
Sebagian ahli membagi Indonesia atas tiga wilayah geografis utama yakni:
• Kepulauan Sunda Besar meliputi pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi.
• Kepulauan Sunda Kecil meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
• Kepulauan Maluku dan Irian
Pada zaman es terakhir, sebelum tahun 10.000 SM (Sebelum Masehi), pada bagian barat Indonesia terdapat daratan Sunda yang terhubung ke benua Asia dan memungkinkan fauna dan flora Asia berpindah ke bagian barat Indonesia. Di bagian timur Indonesia, terdapat daratan Sahul yang terhubung ke benua Australia dan memungkinkan fauna dan flora Australia berpindah ke bagian timur Indonesia. Pada bagian tengah terdapat pulau-pulau yang terpisah dari kedua benua tersebut.
Karena hal tersebut maka ahli biogeografi membagi Indonesia atas kehidupan flora dan fauna yakni:
• Daratan Indonesia Bagian Barat dengan flora dan fauna yang sama dengan benua Asia.
• Daratan Indonesia Bagian Tengah (Wallacea) dengan flora dan fauna endemik/hanya terdapat pada daerah tersebut.
• Daratan Indonesia Bagian Timur dengan flora dan fauna yang sama dengan benua Australia.
Ketiga bagian daratan tersebut dipisahkan oleh garis maya/imajiner yang dikenal sebagai Garis Wallace-Weber, yaitu garis maya yang memisahkan Daratan Indonesia Barat dengan daerah Wallacea (Indonesia Tengah), dan Garis Lyedekker, yaitu garis maya yang memisahkan daerah Wallacea (Indonesia Tengah) dengan daerah IndonesiaTimur.

Berdasarkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, maka wilayah Indonesia dibagi menjadi 2 kawasan pembangunan:
• Kawasan Barat Indonesia. Terdiri dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali.
• Kawasan Timur Indonesia. Terdiri dari Sulawesi, Maluku, Irian/Papua, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Iklim

Indonesia mempunyai iklim tropik basah yang dipengaruhi oleh angin monsun barat dan monsun timur. Dari bulan November hingga Mei, angin bertiup dari arah Utara Barat Laut membawa banyak uap air dan hujan di kawasan Indonesia; dari Juni hingga Oktober angin bertiup dari Selatan Tenggara kering, membawa sedikit uap air. Suhu udara di dataran rendah Indonesia berkisar antara 23 derajat Celsius sampai 28 derajat Celsius sepanjang tahun.
Namun suhu juga sangat bevariasi; dari rata-rata mendekati 40 derajat Celsius pada musim kemarau di lembah Palu - Sulawesi dan di pulau Timor sampai di bawah 0 derajat Celsius di Pegunungan Jayawijaya - Irian. Terdapat salju abadi di puncak-puncak pegunungan di Irian: Puncak Trikora (Mt. Wilhelmina - 4730 m) dan Puncak Jaya (Mt. Carstenz, 5030 m).

Ada 2 musim di Indonesia yaitu musim hujan dan musim kemarau, pada beberapa tempat dikenal musim pancaroba, yaitu musim diantara perubahan kedua musim tersebut.
Curah hujan di Indonesia rata-rata 1.600 milimeter setahun, namun juga sangat bervariasi; dari lebih dari 7000 milimeter setahun sampai sekitar 500 milimeter setahun di daerah Palu dan Timor. Daerah yang curah hujannya rata-rata tinggi sepanjang tahun adalah Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, sebagian Jawa barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Maluku Utara dan delta Mamberamo di Irian.
Setiap 3 sampai 5 tahun sekali sering terjadi El-Nino yaitu gejala penyimpangan cuaca yang menyebabkan musim kering yang panjang dan musim hujan yang singkat. Setelah El Nino biasanya diikuti oleh La Nina yang berakibat musim hujan yang lebat dan lebih panjang dari biasanya. Kekuatan El Nino berbeda-beda tergantung dari berbagai macam faktor, antara lain indeks Osilasi selatan atau Southern Oscillation.


Sumber : wikipedia

Masalah Pokok dalam Pembangunan Indonesia



1. B. Penduduk dan Kemiskinan

Populasi penduduk dunia saat ini telah mencapai 6,5 miliar jiwa. Jumlah tersebut akan terus bertambah mengingat setiap detik lahir 4,4 bayi. Menurut perkiraan, penduduk dunia pada tahun 2050 diperkirakan mencapai angka 9 miliar (Global Demographic Divide; Mary Kent, 2006).

Saat ini, hampir separuh penduduk dunia tinggal di perkotaan. Berdasarkan laporan Divisi Kependudukan Dewan Ekonomi dan Sosial (Ecosoc) PBB (2006), hingga tahun 2005, sekira49% atau 3,2 miliar penduduk dunia tinggal di wilayah perkotaan. Penduduk perkotaan rata-rata meningkat setiap tahunnya sebesar 3.54%. Pada tahun 1950, penduduk dunia yang tinggal di perkotaan hanya 29%, tahun 1970 (35,9%), 1990 (43%) dan pada tahun 2000 sekira 46,7%. Dengan asumsi rata-rata pertumbuhan penduduk 1,8% per tahun, pada tahun 2030 jumlah penduduk perkotaan di dunia diperkirakan akan mencapai 4,9 miliar atau sekira 60% dari jumlah penduduk dunia.

Keadaan di Indonesia tidak jauh berbeda. Pada tahun 2005, penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan telah mencapai 107 juta atau sebesar 48,1% dari seluruh penduduk Indonesia. Angka tersebut cukup fantastis, mengingat dalam waktu 55 tahun hampir separuh penduduk Indonesia menempati wilayah perkotaan. Padahal, pada tahun 1950 hanya seperdelapan atau sekira 12,4% penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan.

Pertumbuhan penduduk perkotaan biasanya akan diikuti pertumbuhan daerah padat kumuh. Berdasarkan laporan UN-Habitat (badan PBB untuk masalah kependudukan), penduduk di kawasan padat kumuh selama 15 tahun terakhir mengalami pertumbuhan cepat. Pada tahun 1990, penduduk kawasan padat kumuh di dunia sekira 715 juta jiwa. Pada tahun 2000 bertambah menjadi sekira 912 juta jiwa. Sampai dengan tahun 2005, terdapat hampir 1 miliar penduduk perkotaan di dunia yang tinggal di kawasan padat kumuh. Pada tahun 2020, UN-Habitat memperkirakan sekira 1,4 miliar penduduk di wilayah perkotaan di dunia, akan menempati kawasan padat kumuh.

Pemukiman padat dan kumuh juga ditemui di kota-kota di Indonesia. Pada tahun 2001, UN-Habitat memperkirakan proporsi penduduk Indonesia yang tinggal di daerah padat kumuh sebesar 23%, yaitu sekira 21 juta jiwa dari keseluruhan penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan. Pada tahun 2005, sebagaimana dikutip Antara, sekira 21,25 juta penduduk atau 18% dari 120 juta jiwa di wilayah perkotaan, tinggal di kawasan padat kumuh.

Pada peringatan Hari Habitat Nasional 2006, Kementerian Negara Perumahan Rakyat memperkirakan sekira 10 kota di Indonesia memiliki beban kawasan pemukiman kumuh, yaitu Jakarta, Medan, Semarang, Bandung, Batam, Palembang, Makassar, Banjarmasin, Surabaya, dan Yogyakarta. Jakarta Pusat misalnya, 30% wilayahnya dinyatakan sebagai kawasan kumuh. Sementara, Kota Bandung, berdasarkan laporan Bank Dunia (2002), pada tahun 1999, 44% dari total kelurahan adalah area permukiman kumuh. Luasan kawasan padat kumuh dan jumlah penduduk yang tinggal di kawasan tersebut akan terus mengalami peningkatan seiring kenaikan populasi di perkotaan.

Menjamurnya kawasan padat kumuh di wilayah perkotaan dinilai Bank Dunia dan UN-Habitat sebagai dampak dari ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola pemerintahannya. Laporan World Bank dan UN-Habitat menegaskan pertumbuhan kawasan padat kumuh di perkotaan dipicu oleh kebijakan yang salah, banyaknya korupsi, buruknya pemerintahan, tidak tepatnya regulasi, dan tidak adanya keinginan politik dari pemerintah.
Kecenderungan pertumbuhan penduduk di wilayah perkotaan, perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak. Ada hal penting yang harus diperhatikan; Pertama, kecenderungan pertumbuhan penduduk di perkotaan dikhawatirkan menimbulkan the big bang of urban poverty, yaitu ledakan kemiskinan di wilayah perkotaan.

Kedua, kawasan kumuh-padat dan kemiskinan di perkotaan dikhawatirkan dapat menyuburkan kriminalitas. Temuan M. Davis dari hasil kajiannya di berbagai kota, terutama di Amerika Latin, yang dirangkum Planet of the Slum menjelaskan, daerah slum dan squater yang tidak diurus pemerintah, justru diorganisasi secara informal oleh organisasi ”bawah tanah”, mafia dan ”organisasi” kejahatan lainnya.

Di republik yang telah merdeka lebih dari setengah abad ini, dua problem utama belum bisa dibereskan: kemiskinan dan pengangguran. Jumlah rakyat miskin per Maret 2008 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen) atau turun dari angka pada Maret 2007 sebesar 37,17 juta orang (16,58 persen) (Data Susenas BPS Maret 2008). Data ini diperoleh sebelum pemerintah menaikkan harga BBM rata-rata 28,7 persen pada Mei 2008, yang diperkirakan menambah angka kemiskinan hingga 8,5 persen.

Dalam kriteria yang lebih ketat, penduduk miskin Indonesia menurut World Bank mencapai 108.7 juta orang (49%) (Data World Bank 2006). Perbedaan jumlah ini muncul dari perbedaan alat ukur dan cara menghitung. BPS menggunakan kriteria yang lebih longgar. Menurut BPS, penduduk miskin adalah mereka yang rata-rata penghasilannya di bawah standar pemenuhan kebutuhan dasar kalori minimal 2.100 kkal (kilo kalori) atau sekitar Rp 152.847 per kapita per bulan. Sementara World Bank menggunakan standar internasional: penduduk miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran per hari sebesar US$2 atau kurang.

Angka pengangguran juga belum bisa ditekan. Menurut BPS, jumlah pengangguran terbuka per Februari 2008 mencapai 9.4 juta (8.5 persen) dari 111,46 juta angkatan kerja (Data Sakernas BPS Februari 2008). Jumlah ini lebih dua kali lipat dari penduduk Singapura yang sekitar 4 juta. Memang, dibandingkan data survei Sakernas BPS pada Februari 2007, jumlah ini turun 1,1 juta orang dari jumlah pengangguran sebelumnya yang mencapai 10.55 juta (9.75 persen). Klaim penurunan ini dipertanyakan para ahli, sebab pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bertumpu pada sektor padat karya (labour intensive) yang menyerap banyak tenaga kerja seperti pertanian dan perkebunan, tetapi memusat di sektor konsumsi, sektor nonperdagangan, dan sektor-sektor padat modal seperti telekomunikasi dan pasar modal. Klaim ini juga berasal dari definisi kerja dan pengangguran yang terlalu longgar dari BPS.

Menurut BPS, pengangguran adalah orang yang bekerja kurang dari 1 jam dalam 1 minggu. Mereka yang bekerja 1 jam atau lebih dalam 1 minggu tidak bisa digolongkan sebagai menganggur, meskipun hasil pekerjaannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Negara lain umumnya menggunakan ukuran minimal 15 jam seminggu untuk tidak dianggap sebagai menganggur. Tidak heran, menurut survei Sakernas, jumlah setengah pengangguran meningkat dari 27,9 juta pada 2004 menjadi 30,6 juta orang bulan Februari 2008. Dari klaim pertumbuhan sebesar 6,3 persen, tertinggi selama 10 tahun terakhir, penyerapan tenaga kerjanya relatif rendah. Struktur ketenagakerjaan menunjukkan sektor informal menyerap 69 persen angkatan kerja dan hanya 31 persen yang terserap di sektor formal. Dari 9,4 juta kategori pengangguran terbuka, 4,5 juta di antaranya berasal dari lulusan SMA, SMK, diploma, dan universitas. (Dari berbagai sumber)


Sumber : Akatiga (pusat analisis sosial)

Masalah Pokok dalam Pembangunan Indonesia





1. A. Dualisme Kepemimpinan / Peraturan

Pemimpin adalah salah satu unsur dari sebuah sistem. Unsur lainnya adalah peraturan dan ketaatan. Peraturan dalam konteks sistem non-manusia adalah Standard Operating Procedure (SOP). Ruang lingkup sebuah sistem bisa bervariasi. Sistem metabolisme sebuah virus bisa jadi adalah sebuah sistem terkecil. Ataukah ada yang lebih kecil dari itu. Sistem galaksi bisa dikatakan yang terbesar. Mungkinkah ada yang lebih agung darinya. Sebuah sistem bisa jadi merupakan subsistem dari sistem lainnya. Di sisi lain, sebuah sistem bisa menjadi sebuah supersistem dari sebagian sistem lainnya.


Berbicara tentang sistem memang tidak akan pernah ada habisnya. Tentang pemimpin saja sebagai satu unsur dari sebuah sistem diperlukan kajian yang luas dan mendalam. Tapi hal ini tentunya tidak boleh menyurutkan semangat kita. Karena pada prinsipnya, jika tidak bisa mengambil semuanya, maka janganlah tinggalkan semuanya.

Kali ini, saya ingin mengungkapkan perasaan dan pemikiran tentang dualisme kepemimpinan. Idealnya, dalam sebuah sistem hanya ada seorang pemimpin. Karena pemimpin inilah yang bertanggung jawab memastikan jalannya sistem tetap pada koridornya. Dialah yang mengarahkan pengikut mengarah ke tujuan. Lantas, bagaimana jika dalam sebuah sistem terdapat dua pemimpin? Hal ini tidak bisa diterima. Karena dua pemimpin berarti dua pemikiran yang akan mengarahkan pengikut ke dua tujuan. Dan hal ini tidak boleh terjadi dalam sebuah sistem yang baik.

Apa jadinya jika Tuhan memiliki kuantitas lebih dari satu? Tentu sistem kehidupan akan bergejolak, mempertahankan arah masing-masing. Apa yang terjadi jika dalam sebuah rumah tangga, suami dan istri sama-sama merasa jadi pemimpin? Mau dibawa kemanakah bahtera rumah tangga? Lihat saja apa yang terjadi pada sebuah partai politik yang saat ini terpecah menjadi dua kubu, karena keduanya mempertahankan pemimpin masing-masing. Contoh yang lain, ah, terlalu banyak contoh kasus dualisme kepemimpinan. Beginilah jika setiap orang keukeuh mempertahankan kepemimpinannya ketika bukan saatnya menjadi pemimpin. Kita sepakat, bahwa setiap diri adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Minimal pemimpin bagi diri sendiri. Tapi dalam lingkup kehidupan sosial, kita harus pandai menempatkan posisi yang tepat pada waktu yang tepat. Kita tidak akan mungkin selamanya menjadi pemimpin. Ada saatnya kita menjadi yang dipimpin.

Kepemimpinan itu sebuah hierarki. Dia bertingkat. Seorang pemimpin pasti memiki pemimpin. Kondisi inilah yang saat ini sering tidak kita pahami. Di saat seharusnya menjadi pengikut, ego pribadi menuntut diri untuk menjadi pemimpin. Di saat harus memimpin, keyakinan diri mengkerut sehingga hilanglah kewibawaan. Ketika momentum itu tidak kita pahami, maka terjadilah fenomena dualisme kepemimpinan. Ah, kita memang harus lebih banyak belajar. Kapan saatnya menjadi pemimpin, bila waktunya menjadi yang dipimpin.



Sumber : wikipedia

Minggu, 13 Maret 2011

Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.

Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar
Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)

Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :

Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)

Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.

Fasilitas Diskonto (Discount Rate)

Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.

Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)

Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.

Himbauan Moral (Moral Persuasion)

Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.

Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.


Tujuan Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter bertujuan untuk mencapai stablisasi ekonomi yang dapat diukur dengan :

a. Kesempatan Kerja
Semakin besar gairah untuk berusaha, maka akan mengakibatkan peningkatan produksi. Peningkatan produksi ini akan diikuti dengan kebutuhan tenaga kerja. Hal ini berarti akan terjadinya peningkatan kesempatan kerja dan kesehjateraan karyawan.

b. Kestabilan harga
Apabila kestablian harga tercapai maka akan menimbulkan kepercyaan di masyarakat. Masyarakat percaya bahwa barang yang mereka beli sekarang akan sama dengan harga yang akan masa depan.

c. Neraca Pembayaran Internasional
Neraca pembayaran internasional yang seimbang menunjukkan stabilisasi ekonomi di suatu Negara. Agar neraca pembayaran internasional seimbang, maka pemerintah sering melakukan kebijakan-kebijakan moneter.



Masalah dalam kebijakan moneter
Ketidak pastian dan jarak waktu
Pemerintah bisa saja memaksakan berkurangnya uang beredar tetapi tidak bisa dengan mudah menaikkan jumlah uang beredar
Pergeseran kurva MEC dapat membuat kebijakan moneter tidak efektif
Kebijakan moneter bisa merupakan bagian dari kebijakan fiscal, karena tindakan fiscal bisa membawa efek moneter
Kebijakan moneter dapat dilaksanakan lebih cepat daripada kebijakan fiscal, tetapi waktu yang dibutuhkan untuk berpengaruh terasa relative lebih lama.




Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter
http://id.shvoong.com/business-management/1999551-pengertian-dan-tujuan-kebijakan-moneter/

Kebijakan Pembangunan (Pelita I - Pelita VI)

REPELITA atau Rencana Pembangunan Lima Tahun adalah satuan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah orde baru di Indonesia.

Pelita berlangsung dari Pelita I-Pelita VI.


Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)

Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.

• Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.

• Sasaran Pelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.

• Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian. Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia.

Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.


Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)

Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.


Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)

Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan.Inti dari kedua pedoman tersebut


Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989)

Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan ondustri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil- nya Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia. Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.


Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)

Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.


Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999)

Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.




Sumber : http://www.scribd.com/doc/24616247/Kondisi-Ekonomi-Indonesia-Pada-Masa-Orde-Baru

Dasar-Dasar Perhitungan Perkiraan Pendapatan Nasional

Pendapatan nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga keluarga (RTK) di suatu negara dari penyerahan faktor-faktor produksi dalam satu periode,biasanya selama satu tahun.

Sejarah

Konsep pendapatan nasional pertama kali dicetuskan oleh Sir William Petty dari Inggris yang berusaha menaksir pendapatan nasional negaranya(Inggris) pada tahun 1665. Dalam perhitungannya, ia menggunakan anggapan bahwa pendapatan nasional merupakan penjumlahan biaya hidup (konsumsi) selama setahun. Namun, pendapat tersebut tidak disepakati oleh para ahli ekonomi modern, sebab menurut pandangan ilmu ekonomi modern, konsumsi bukanlah satu-satunya unsur dalam perhitungan pendapatan nasional. Menurut mereka, alat utama sebagai pengukur kegiatan perekonomian adalah Produk Nasional Bruto (Gross National Product, GNP), yaitu seluruh jumlah barang dan jasa yang dihasilkan tiap tahun oleh negara yang bersangkutan diukur menurut harga pasar pada suatu negara.


Konsep

Berikut adalah beberapa konsep pendapatan nasional :

• Produk Domestik Bruto (GDP)
Produk domestik bruto (Gross Domestic Product) merupakan jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun. Dalam perhitungan GDP ini, termasuk juga hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan/orang asing yang beroperasi di wilayah negara yang bersangkutan. Barang-barang yang dihasilkan termasuk barang modal yang belum diperhitungkan penyusutannya, karenanya jumlah yang didapatkan dari GDP dianggap bersifat bruto/kotor.

Pendapatan nasional merupakan salah satu ukuran pertumbuhan ekonomi suatu negara

• Produk Nasional Bruto (GNP)
Produk Nasional Bruto (Gross National Product) atau PNB meliputi nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk suatu negara (nasional) selama satu tahun; termasuk hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara yang berada di luar negeri, tetapi tidak termasuk hasil produksi perusahaan asing yang beroperasi di wilayah negara tersebut.

• Produk Nasional Neto (NNP)
Produk Nasional Neto (Net National Product) adalah GNP dikurangi depresiasi atau penyusutan barang modal (sering pula disebut replacement). Replacement penggantian barang modal/penyusutan bagi peralatan produski yang dipakai dalam proses produksi umumnya bersifat taksiran sehingga mungkin saja kurang tepat dan dapat menimbulkan kesalahan meskipun relatif kecil.

• Pendapatan Nasional Neto (NNI)
Pendapatan Nasional Neto (Net National Income) adalah pendapatan yang dihitung menurut jumlah balas jasa yang diterima oleh masyarakat sebagai pemilik faktor produksi. Besarnya NNI dapat diperoleh dari NNP dikurang pajak tidak langsung. Yang dimaksud pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada pihak lain seperti pajak penjualan, pajak hadiah, dll.

• Pendapatan Perseorangan (PI)
Pendapatan perseorangan (Personal Income)adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap orang dalam masyarakat, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa melakukan kegiatan apapun. Pendapatan perseorangan juga menghitung pembayaran transfer (transfer payment). Transfer payment adalah penerimaan-penerimaan yang bukan merupakan balas jasa produksi tahun ini, melainkan diambil dari sebagian pendapatan nasional tahun lalu, contoh pembayaran dana pensiunan, tunjangan sosial bagi para pengangguran, bekas pejuang, bunga utang pemerintah, dan sebagainya. Untuk mendapatkan jumlah pendapatan perseorangan, NNI harus dikurangi dengan pajak laba perusahaan (pajak yang dibayar setiap badan usaha kepada pemerintah), laba yang tidak dibagi (sejumlah laba yang tetap ditahan di dalam perusahaan untuk beberapa tujuan tertentu misalnya keperluan perluasan perusahaan), dan iuran pensiun (iuran yang dikumpulkan oleh setiap tenaga kerja dan setiap perusahaan dengan maksud untuk dibayarkan kembali setelah tenaga kerja tersebut tidak lagi bekerja).

• Pendapatan yang siap dibelanjakan (DI)
Pendapatan yang siap dibelanjakan (Disposable Income) adalah pendapatan yang siap untuk dimanfaatkan guna membeli barang dan jasa konsumsi dan selebihnya menjadi tabungan yang disalurkan menjadi investasi. Disposable income ini diperoleh dari personal income (PI) dikurangi dengan pajak langsung. Pajak langsung (direct tax) adalah pajak yang bebannya tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, artinya harus langsung ditanggung oleh wajib pajak, contohnya pajak pendapatan.


Penghitungan

Jasa perbankan turut mempengaruhi besarnya pendapatan nasional
Pendapatan negara dapat dihitung dengan tiga pendekatan, yaitu:

• Pendekatan pendapatan, dengan cara menjumlahkan seluruh pendapatan (upah, sewa, bunga, dan laba) yang diterima rumah tangga konsumsi dalam suatu negara selama satu periode tertentu sebagai imbalan atas faktor-faktor produksi yang diberikan kepada perusahaan.

• Pendekatan produksi, dengan cara menjumlahkan nilai seluruh produk yang dihasilkan suatu negara dari bidang industri, agraris, ekstraktif, jasa, dan niaga selama satu periode tertentu. Nilai produk yang dihitung dengan pendekatan ini adalah nilai jasa dan barang jadi (bukan bahan mentah atau barang setengah jadi).

• Pendekatan pengeluaran, dengan cara menghitung jumlah seluruh pengeluaran untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara selama satu periode tertentu. Perhitungan dengan pendekatan ini dilakukan dengan menghitung pengeluaran yang dilakukan oleh empat pelaku kegiatan ekonomi negara, yaitu: Rumah tangga (Consumption), pemerintah (Government), pengeluaran investasi (Investment), dan selisih antara nilai ekspor dikurangi impor (X − M)


Manfaat

Selain bertujuan untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu negara dan untuk mendapatkan data-data terperinci mengenai seluruh barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara selama satu periode, perhitungan pendapatan nasional juga memiliki manfaat-manfaat lain, diantaranya untuk mengetahui dan menelaah struktur perekonomian nasional. Data pendapatan nasional dapat digunakan untuk menggolongkan suatu negara menjadi negara industri, pertanian, atau negara jasa. Contohnya, berdasarkan pehitungan pendapatan nasional dapat diketahui bahwa Indonesia termasuk negara pertanian atau agraris, Jepang merupakan negara industri, Singapura termasuk negara yang unggul di sektor jasa, dan sebagainya.

Disamping itu, data pendapatan nasional juga dapat digunakan untuk menentukan besarnya kontribusi berbagai sektor perekomian terhadap pendapatan nasional, misalnya sektor pertanian, pertambangan, industri, perdaganan, jasa, dan sebagainya. Data tersebut juga digunakan untuk membandingkan kemajuan perekonomian dari waktu ke waktu, membandingkan perekonomian antarnegara atau antardaerah, dan sebagai landasan perumusan kebijakan pemerintah.


Faktor yang mempengaruhi

• Permintaan dan penawaran agregat
Permintaan agregat menunjukkan hubungan antara keseluruhan permintaan terhadap barang-barang dan jasa sesuai dengan tingkat harga. Permintaan agregat adalah suatu daftar dari keseluruhan barang dan jasa yang akan dibeli oleh sektor-sektor ekonomi pada berbagai tingkat harga, sedangkan penawaran agregat menunjukkan hubungan antara keseluruhan penawaran barang-barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan dengan tingkat harga tertentu.


Konsumsi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan nasional

Jika terjadi perubahan permintaan atau penawaran agregat, maka perubahan tersebut akan menimbulkan perubahan-perubahan pada tingkat harga, tingkat pengangguran dan tingkat kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Adanya kenaikan pada permintaan agregat cenderung mengakibatkan kenaikan tingkat harga dan output nasional (pendapatan nasional), yang selanjutnya akan mengurangi tingkat pengangguran. Penurunan pada tingkat penawaran agregat cenderung menaikkan harga, tetapi akan menurunkan output nasional (pendapatan nasional) dan menambah pengangguran.

• Konsumsi dan tabungan
Konsumsi adalah pengeluaran total untuk memperoleh barang-barang dan jasa dalam suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun), sedangkan tabungan (saving) adalah bagian dari pendapatan yang tidak dikeluarkan untuk konsumsi. Antara konsumsi, pendapatan, dan tabungan sangat erat hubungannya. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat Keynes yang dikenal dengan psychological consumption yang membahas tingkah laku masyarakat dalam konsumsi jika dihubungkan dengan pendapatan.

• Investasi
Pengeluaran untuk investasi merupakan salah satu komponen penting dari pengeluaran agregat.




Sumber : http://methaardiah.blogspot.com

Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan

Dalam distribusi pendapatan baik antarkelompok berpendapatan, antardaerah perkotaan dan daerah pedesaan, atau antarkawasan dan propinsi dan kemiskinan merupakan dua masalah yang masih mewarnai perekonomian Indonesia.

Pada awal pemerintahan orde baru, perencanaan pembangunan ekonomi di Indonesia masih sangat percaya bahwa apa yang dimaksud dengan trickle down effect akan terjadi. Oleh karena itu, strategi pembangunan diterapkan oleh pemerintah pada awal periode orde baru hingga akhir tahun 1970-an terpusatkan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat pembangunan dimulai di Pulau Jawa, khususnya Propinsi Jawa Barat, karena fasilitas seperti infrastruktur lebih tersedia dibandingkan dipropinsi lainnya di Indonesia dan di beberapa propinsi hanya dibeberapa sector saja yang bisa dengan cepat memberi pertumbuhan misalnya sector primer dan industri berat.

Setelah sepuluh tahun pelita I dimulai, mulai kelihatan bahwa efek yang dimaksud itu mungkin tidak dapat dikatakan sama sekali tidak ada, tetapi proses mengalir kebawahnya sangat lamban. Sebagai akibatnya, Indonesia menikmati laju pertumbuhan yang relatif tinggi, tetapi pada waktu yang bersamaan tingkat kesenjangan semakin membesar dan jumlah orang miskin semakin banyak. Tepatnya setelah pelita III, strategi pembangunan mulai diubah. Tidak hanya pertumbuhan tetapi juga kesejahteraan masyarakat, tidak hanya dijawa, tetapi juga diluar jawa, menjadi kesejahteraan masyarakat, misalnya dengan mengembangkan industri yang padat karya dan sector pertanian . hingga saat ini sudah banyak program pemerintah yang berorientasi mengurangi kemiskinan, seperti inpres pedesaan, transmigrasi, dan masih banyak lagi.

Masalah kesenjangan ekonomi (pendapatan) dan kemiskinan di Indonesia akan dibahas. Faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan dan kemiskinan tetap ada ditanah air walaupun pembangunan ekonomi berjalan terus dan Indonesia memiliki laju pertumbuhan yang relatif tinggi.


Beberapa indikator distribusi pendapatan :

Sudah merupakan suatu fakta umum dibanyak negara berkembang, terutama Negara-negara proses pembangunan ekonomi yang sangat pesat seperti indonesi, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibarengi dengan tingkat kesenjangan ekonomi atau kemiskinan yang tinggi pula.

Sebagai dasar dari kerangka pemikiran untuk menganalisis masalah trade-off antara pertumbuhan dan kemiskinan atau kesenjangan ekonomi adalaha salah satu metode statik yang umum digunakan untuk mengetimasi sejauh mana pencapaian tingkat kemerataan dalam distribusi pendapatan atau pengurangan kesenjangan ekonomi dalam suatu proses pembangunan ekonomi adalah mengukur nilai koefesien atau rasio gini.

Selai koefesien gini, pengukuran pemerataan pendapatan juga sering dilakukan berdasarkan kriteria bank dunia : penduduk dikelompokan menjadi tiga kelompok; yaitu penduduk dengan pendapatan rendah yang merupan 40% dari jumlah penduduk, penduduk dengan berpendapatan menengah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk, dan penduduk yang berpendapatan tinggi yang merupakan 20% dari jumlah penduduk. Selanjutnya ketidak merataan pendapatan disuatu ekonomi diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah.


Perubahan distribusi pendapatan

Perhitungan distribusi pendapatan di Indonesia menggunakan data survei sosial ekonomi nasional (susenas) pada tahun 1984, 1987, 1990, 1993. data pengeluaran konsumsi rumah tangga yang dikumpulakan oleh susenas digunakan sebagai pendekatan (proxy) untuk mengukur distribusi pendapatan penduduk di Indonesia. Karena pengertian pengeluaran konsumsi tidak sama dengan pengertian kekayaan, perbedaan konsep ini menjadi kendala serius dalam mengukur secara akurat tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Karena bisa saja seseorang tidak punya pekerjaan (pendapatan), tetapi sangat kaya karena ada warisan keluarga. Banyak pengusaha muda dari tingkat pendapatanya tidak terlalu berlebihan, tetapi mereka sangat kaya karena perusahaan tempat mereka bekerja adalah milik mereka (orang tuanya).

Penggunaan data pengeluaran konsumsi rumah tangga akan menghasilkandata pendapatan yang underestimate karena jumlah pendapatan bia lebih besar, sama, atau lebih kecil dari pada jumlah pengeluaran konsumsi. Misalnya pendapatan lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsi juga besar. Dalam hal ini, berarti ada tabungan. Dalam hal ini belum tentu juga bila pendapatan rendah tidak selalu jumlah konsumsi juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit untuk membiayai pengeluran konsumsi tertentu, misalnya untuk membeli rumah dan mobil untuk biaya sekolah anak, atau bahkan untuk liburan.

Keberhasilan pembangunan di Indonesia tidak hanya di ukur dari peningkatan pendapatan penduduk secara agregat atau per capital, tetapi juga (justru lebih penting lagi) di lihat dari distribusi peningkatan pendapatan tersebut terhadap semua anggota masyarakat. Sekarang ini, tingkat pendapatan per kapital di Indonesia sudah lebih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu, yakni sekitar US$880. namun, apa artinya jika 10% saja dari jumlah penduduk di tanah air yang manikmati 90% dari jumlah pendapatan nasional, sedangkan sisanya (90%) hanya menikmati 10& dari pendapatan nasional selama ini hanya di nikmati oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan kelompok 90% tidak mengalami perbaikan yang berarti. Jadi dalam kata lain, pembangunan ekonomi di Indonesia akan dikatakan berhasil sepenuhnya bila tingkat kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat kaya bisa diperkecil.

Sejak akhir tahun 1970-an, pemerintah maulai memperliatkan kesugguhan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk ditanah air. Sejak itu aspek pemerataan dalam triologi pembangunan semakin ditekankan dan didefinisikan dalam delapan jalur pemerataan. Sudah banyak program pemerintahan hingga saat ini yang mecerminkan upaya tersebut, seperti program serta kebijakan yang mendukung pembangunan industri kecil dan rumah tangga serta koperasi, khususnya dipedesaan, inpres desa tertinggal (IDT), program keluarga sejahtera, program keluarga berencana (KB), program maka tambahan bagi anak sekolah dasar, program transmigrasi, peningkatan upah minimum regional (UMR), dan masih banyak lagi.

Menurut kriteria Bank Dunia, secara umum tingkat kesenjangan dalam distibusi pendapatan di Indonesia selama kurun waktu 1984-1993 tergolong rendah, baik didaerah pedesaan maupun daerah perkotaan yang ditunjukan oleh besarnyapersentase pendapatan yang dinikmati oleh kelompok penduduk 40% berpenghasilan rendah. Bagi kelompok penduduk 20% berpendapatan tinggi, besar pendapatanya yang diterima justru mengalami penurunan. Penurunan pangsa pendapatan ini karena laju pertumbuhan pendapatan kelompok penduduk 40% berpendapat rendah dan 40% berpendapat menengah lebih besar dari pada laju pertumbuhan pendapatan kelompok penduduk 20% berpendapat tinggi.

Tingkat pemerataan pendapatan di daerah pedesaan yang relatif lebih baik dari pada didaerah perkotaan juga terjadi hamper disemua propinsi di Indonesia. Semakin buruknya distribusi pendapatan di daerah perkotaan dibandingkan didaerah pedesaan terutama disebabkan oleh pola perekonmian dan jumlah serta kondisi sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi sangat berbeda antara pedesaan dan perkotaan. Dikota, Jakarta misalnya persaingan dalam dunia usaha dan dalam mendapatkan pekerjaan semakin keras. Jumlah manusia dijakarta semakin keras. Jumlah manusia dijakarta semakin banyaki, diperkirakan sekita sepuluh juta orang, yang sebagian disebabkan oleh orang-orang yang terus datang ke Jakarta terutama yang berasal dari Jawa dan Sumatra. Sementara kemanapun ekonomi Jakarta untuk memberi pekerjaan bagi pencari kerja yang bertambah jumlahnya setiap tahun terbatas. Terjadi perpindahan surplus tenaga kerja dari desa ke kota. Mereka tidak bisa ditampung disektor formal akhirnya masuk ke sector informal yang pada umumnya merupakan kegiatan ekonomi dengan tingkat produktivitas dan pendapatan rendah. Karena terlalu banyak orang yang mau bekerja disektor formal, sedangkan daya tamping sector tersebut terbatas maka semakin berat seleksi penerimaan pekerja. Pendidikan atau keterampilan khusus menjadi salah satu kriteria utama dalam seleksi tenaga kerja disektor formal. Jumlah penganggruan, terutama setengah pengangguran, semakin tinggi, dan kesenjangan antara kelompok masyarakat yang mempunyai kesempatan bekerja disektor formal dan kelompok masyarakat yang hanya bisa bekerja disektor informal atau yang tidak memiliki pekerjaan semakin besar.


Kemiskinan

Masalah kemiskinan merupakan dilema bagi Indonesia, terutama melihat kenyataan bahwa laju pengurangan jumlah orang miskin berdasarkan garis kemiskinan yang berlaku jauh lebih lambat dari pada lajupertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu sejak pelita I dimulai hingga saat ini (Repelita VI). Karena kemiskinan merupakan salah satu masalah ekonomi Indonesia yang serius maka tidak mengherankan kalau banya studi telah dilakukan mengenai kemiskinan tanah air. Sayangnya, pendekatan yang dipakai antarstudi yang ada pada umumnya berbeda dan batas miskin yang digunakan juga beragam sehingga hasil atau gambaran mengenai kemiskinan di Indonesia juga berbeda. Kemiskinan relatif dapat diukur dengan kurva Lorentz dan atau koefesien gini. Sedangkan kemiskinan absolute lebih sulit untuk di ukur, terutama pada waktu membandingkan tingkat kemiskinan antarpropinsi atau daerah.

Faktor penyebab kemiskinan, faktor yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perubahan kemiskinan. Sebagai contoh sering dikatakan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah tingkat pendidikan yang rendah. Seseorang dengan tingkat pendidikan hanya SD, misalnya sangat sulit mendapatkan pekerjaan terutama dalam sektor modern , (formal) dengan pendapatan yang baik. Berarti penyebab kemiskinan bukan hanya pendidikan yang rendah, tetapi tingkat gaji/upah yang berbeda.

Kalau diuraikan satu persatu, jumlah faktor yang dapat dipengaruhi, langsung maupun tidak langsung, tingkat kemiskinan cukup banyak, mulai dari tingkat dan laju pertumbuhan output (atau produktifitas), tingkat upah neto, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, jenis pekerjaan yang tersedia, inflasi, pajak dan subsidi, investasi, alokasi serta kualitas sumber daya alam, penggunaan teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi fisik dan alam disuatu wilayah, etos kerja dan motivasi pekerja, kultur/budaya atau tradisi, hingga politik, bencana alam, dan peperangan. Kalau diamati, sebagian besar faktor tersebut juga saling mempengaruhi satu sama lain. Misalnya dari pekerja yang bersangkutan sehingga produktivitasnya menurun. Produktifitas menurun selanjutnya dapat mengakibatkan tingkat upah netonya berkurang, dan seterusnya. Jadi, dalam kasus ini, tidak mudah untukmemastikan apakah karena pajak naik atau produktifitasnya yang turun membuat pekerja tersebut menjadi miskin karena upah netonya menjadi rendah.


Kesimpulan

Tingkat kesenjangan ekonomi dan jumlah penduduk miskin di Indonesia berkurang dan dapat dikatakan bahwa perubahan ini merupakan salah satu hasil pembangunan ekonomi ditanah air selama ini. Namun masih banyak permasalahan dengan kemiskinan dan kesenjangan.
Hingga saat ini, penentu garis kemiskinan masih berdasarkan kebutuhan fisik dan pendidikan tinggi. Tanpa adanya pendidikan yang baik tidak akan bisa terjadi progres di dalam kehidupan.




sumber : http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/distribusi-pendapatan-dan-kemiskinan/

Perhitungan Pendapatan Nasional





Pengertian
Pendapatan nasional adalah merupakan jumlah seluruh pendapatan yang diterima oleh masyarakat dalam suatu negara selama satu tahun.

Konsep Pendapatan Nasional
PDB/GDP (Produk Domestik Bruto/Gross Domestik Product)
Produk Domestik Bruto adalah jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu Negara selama satu tahun. Dalam perhitungannya, termasuk juga hasil produksi dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan/orang asing yang beroperasi diwilayah yang bersangkutan

PNB/GNP (Produk Nasional Bruto/Gross Nasional Product)
PNB adalah seluruh nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat suatu Negara dalam periode tertentu, biasanya satu tahun, termasuk didalamnya barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat Negara tersebut yang berada di luar negeri.
Rumus
GNP = GDP – Produk netto terhadap luar negeri

NNP (Net National Product)
NNP adalah jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat dalam periode tertentu, setelah dikurangi penyusutan (depresiasi) dan barang pengganti modal.
Rumus :
NNP = GNP – Penyusutan

NNI (Net National Income)
NNI adalah jumlah seluruh penerimaan yang diterima oleh masyarakat setelah dikurangi pajak tidak langsung (indirect tax)
Rumus :
NNI = NNP – Pajak tidak langsung

PI (Personal Income)
PI adalah jumlah seluruh penerimaan yang diterima masyarakat yang benar-benar sampai ke tangan masyarakat setelah dikurangi oleh laba ditahan, iuran asuransi, iuran jaminan social, pajak perseorangan dan ditambah dengan transfer payment.
Rumus :
PI = (NNI + transfer payment) – (Laba ditahan + Iuran asuransi + Iuran jaminan social + Pajak perseorangan )

DI (Disposible Income)
DI adalah pendapatan yang diterima masyarakat yang sudah siap dibelanjakan oleh penerimanya.
Rumus :
DI = PI – Pajak langsung


Perhitungan Pendapatan nasional

Tujuan dan manfaat perhitungan pendapatan nasional
Tujuan mempelajari pendapatan nasional :
Untuk mengetahui tingkat kemakmuran suatu Negara
Untuk memperoleh taksiran yang akurat nilai barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat dalam satu tahun
Untuk membantu membuat rencana pelaksanaan program pembangunan yang berjangka.
Manfaat mempelajari pendapatan nasional
Mengetahui tentang struktur perekonomian suatu Negara
Dapat membandingkan keadaan perekonomian dari waktu ke waktu antar daerah atau antar propinsi
Dapat membandingkan keadaan perekonomian antar Negara
Dapat membantu merumuskan kebijakan pemerintah.
Perhitungan Pendapatan Nasional
Metode Produksi
Pendapatan nasional merupakan penjumlahan dari seluruh nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh sector ekonomi masyarakat dalam periode tertentu
Y = [(Q1 X P1) + (Q2 X P2) + (Qn X Pn) ……]

b. Metode Pendapatan
Pendapatan nasional merupakan hasil penjumlahan dari seluruh penerimaan (rent, wage, interest, profit) yang diterima oleh pemilik factor produksi adalam suatu negara selama satu periode.
Y = r + w + i + p

c. Metode Pengeluaran
Pendapatan nasional merupakan penjumlahan dari seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh seluruh rumah tangga ekonomi (RTK,RTP,RTG,RT Luar Negeri) dalam suatu Negara selama satu tahun.
Y = C + I + G + (X – M)

Pendapatan perkapita
Pendapatan perkapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara. Pendapatan perkapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan perkapita juga merefleksikan PDB per kapita.

Pendapatan perkapita sering digunakan sebagai tolak ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara; semakin besar pendapatan perkapitanya, semakin makmur negara tersebut.


Perbandingan per Kapita Indonesia dengan Negara lain

Pendapatan per kapita Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, ternyata masih termasuk rendah. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel 1.2.






Sementara itu, pertumbuhan PNB Riil Per Kapita di dunia dapat Anda pelajari tabel 1.3.




Berdasarkan tabel 1.3, secara umum pada tahun 1998 pertumbuhan PNB Riil Per Kapita di dunia mengalami penurunan sebagaimana halnya Indonesia kecuali negara-negara tertentu seperti Amerika Serikat, Jerman, Kanada dan Perancis.

Hal ini terjadi, karena di dunia yang arus globalisasinya semakin gencar, kejadian atau masalah yang terjadi di suatu negara atau kawasan tertentu akan berdampak pula pada negara lainnya.

Hubungan Pendapatan Nasional, Penduduk dan Pendapatan Perkapita
Pendapatan nasional pada dasarnya merupakan kumpulan pendapatan masyarakat suatu negara. Tinggi rendahnya pendapatan nasional akan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan per kapita negara yang bersangkutan. Akan tetapi, banyak sedikitnya jumlah penduduk pun akan mempengaruhi jumlah pendapatan per kapita suatu negara.

Untuk lebih memperjelas, perhatikan tabel di bawah ini!




Dari tabel 1.1 di atas, nampak jelas bahwa India yang memiliki PDB per tahun US $ 427.407.000.000,00 hanya mendapatkan pendapatan per kapita US $ 440,00. Lain halnya dengan Singapura yang mendapatkan PDB per tahun US $ 95.453.000.000,00 ternyata pendapatan per kapitanya US $ 30.170,00. Mengapa demikian?
Ternyata tingginya pendapatan nasional suatu negara, tidak menjamin pendapatan per kapitanya juga tinggi. Hal ini terjadi karena faktor jumlah penduduk juga sangat menentukan tinggi rendahnya pendapatan per kapita.




Sumber : http://yuskos.wordpress.com/materi-kls-x/metode-perhitungan-pendapatan-nasional/

Peta Perekonomian Indonesia

D. Lembaga Swadaya Masyarakat

Lembaga swadaya masyarakat (LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya.

Organisasi tersebut bukan menjadi bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara. Maka secara garis besar organisasi non pemerintah dapat di lihat dengan ciri sbb :
§ Organisasi ini bukan bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara
§ Dalam melakukan kegiatan tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan (nirlaba)
§ Kegiatan dilakukan untuk kepentingan masyarakat umum, tidak hanya untuk kepentingan para anggota seperti yang di lakukan koperasi ataupun organisasi profesi
Berdasarkan Undang-undang No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, maka secara umum organisasi non pemerintah di indonesia berbentuk yayasan.

Jenis dan kategori LSM

Secara garis besar dari sekian banyak organisasi non pemerintah yang ada dapat di kategorikan sbb :
Organisasi donor, adalah organisasi non pemerintah yang memberikan dukungan biaya bagi kegiatan ornop lain.
Organisasi mitra pemerintah, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan bermitra dengan pemerintah dalam menjalankan kegiatanya.
Organisasi profesional, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan berdasarkan kemampuan profesional tertentu seperti ornop pendidikan, ornop bantuan hukum, ornop jurnalisme, ornop kesehatan, ornop pengembangan ekonomi dll.
Organisasi oposisi, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan memilih untuk menjadi penyeimbang dari kebijakan pemerintah. Ornop ini bertindak melakukan kritik dan pengawasan terhadap keberlangsungan kegiatan pemerintah

Sebuah laporan PBB tahun 1995 mengenai pemerintahan global memperkirakan ada sekitar 29.000 ONP internasional. Jumlah di tingkat nasional jauh lebih tinggi: Amerika Serikat memiliki kira-kira 2 juta ONP, kebanyakan dibentuk dalam 30 tahun terakhir. Russia memiliki 65.000 ONP. Lusinan dibentuk per harinya. Di Kenya, sekitar 240 NGO dibentuk setiap tahunnya.

Dalam khasanah kepustakaan tentang LSM (Mahasin, 2000), di Indonesia muncul istilah tentang berbagai generasi LSM. LSM generasi awal lebih merupakan lembaga sukarela untuk memberi bantuan dan santunan sosial. Generasi kedua mulai memperkenalkan pengembangan usaha swadaya, lewat kelompok-kelompok kecil dari masyarakat rentan. Semboyan mereka adalah “memberi kail bukan sekedar ikan”. Generasi ketiga mulai berinteraksi dengan pembuat kebijaksanaan, dan berperan sebagai semacam konsultan untuk berbagai program yang memerlukan dukungan swadaya masyarakat. Generasi keempat menggerakkan keprihatinan publik dengan melakukan kampanye tentang lingkungan hidup, hak-hak konsumen atau hak-hak azasi manusia. Tentu saja yang terakhir kecuali generasi pertama, semua ini lebih merupakan titik berat kegiatan daripada spesialisasi yang eksklusif. Ada juga LSM yang melakukan kegiatan-kegiatan itu sekaligus. Dalam kenyataannya bahwa LSM memiliki pandangan dasar, metode kerja dan tujuan yang relatif sama. Berbagai forum dan jaringan yang banyak dibentuk sejak tahun 1980-an, baik di daerah, di tingkat nasional, maupun internasional menyebabkan munculnya suatu komunitas yang khas, yang bilamana perlu bisa bertindak bersama. Suatu hal menarik dalam komunitas itu adalah telah berkurangnya tarikan primordial masing-masing, hingga LSM dari berbagai aliran dan latar belakang bisa bertemu untuk kepentingan bersama. Masih ada unsur tengah mainstream yang bisa menjadi acuan bersama. Unsur mainstream tersebut adalah usaha menggerakkan partisipasi masyarakat dan pembelaan hak rakyat.

Dalam rangka inilah mereka mengembangkan jaringan, tak hanya antar LSM, tetapi juga dengan unsur-unsur yang tanggap dikalangan pemerintah, akademika, organisasi masyarakat dan para pembentuk pendapat umum. Jaringan itu longgar, tak resmi, di sana sini sering terkesan agak pribadi sifatnya, tetapi biasanya cukup efektif. Yang menjadi dasar ikatan adalah keprihatinan kepada rakyat kecil, keinginan akan partisipasi dan secara berangsur-angsur merambah jalan ke arah demokratisasi.

Untuk melihat peran sosial LSM, kiranya dapat dibedakan atas peran makro dan peran mikro.

1. Peranan Makro

Dalam rangka aktualisasi peran sosial LSM maka peranan makro yang dapat dimainkan adalah berusaha menjaga independensi dan mengembangkan kemandirian organisasi; dan cara-cara tersebut (lihat juga Ida, 2000) antara lain :

Pertama, mencoba menghidupkan atau mendirikan kembali lembaga-lembaga independen diberbagai level daerah untuk mengimbangi inkorporasi negara yang selama ini masuk kedalam hampir semua sektor kehidupan masyarakat, baik di pusat maupun daerah. Institusi independen yang dimaksudkan disini adalah mempersatukan kembali berbagai ide dari masyarakat yang pluralis kedalam suatu wadah yang relative terlepas dari kekuatan dan campur tangan pemerintah.

Kedua, melalui wadah independen yang sudah dibentuk dicoba dikembangkan mekanisme kerja yang mengarah pada fungsi kontrol terhadap aktivitas pemerintah, seperti yang berkaitan dengan proses penganggaran (budgeting process). Anggaran negara yang dikelola oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, pada hakekatnya adalah milik masyarakat yang seharusnya dilakukan secara transparan dan accountable. Selama era Orde Baru, yang dicirikan oleh pemerintahan sentralistik, hampir tidak ada kemungkinan bagi masyarakat untuk membentuk institusi yang dapat berfungsi mengontrol jalannya pemerintahan (lokal). Kondisi waktu itu juga memperlihatkan tidak adanya kesatuan dan kesamaan visi dikalangan LSM untuk secara bersama bangkit meminimalisasi intervensi negara yang berlebihan. Dalam era transisi otonomi daerah seperti sekarang ini, terutama dimasa mendatang, situasi tersebut hendaknya tidak terulang lagi. Karena itu kelompok LSM harus diberdayakan melalui pembentukan jaringan kelembagaan dan menciptakan jaringan kerja sama.

Ketiga, menyebarluaskan (dissemination) berbagai informasi yang masih menjadi masalah yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui berbagai cara (public education) agar masyarakat menjadi tahu dan secara suka rela mau terlibat atau berpartisipasi di dalamnya.

2. Peranan Mikro

Dalam rangka aktualisasi peran sosial LSM, peranan mikro yang dapat dilakukan antara lain memfasilitasi kelompok-kelompok masyarakat miskin dan lemah dalam mengembangkan kemampuan, memecahkan masalah dan mengelola sumberdaya disekitarnya menuju kemandirian ekonomi mereka. Cara-cara tersebut dapat melalui antara lain :

Kelompok ekonomi lemah terutama usaha rakyat, buruh dan sektor informal dalam kaitannya dengan globalisasi ekonomi dikhawatirkan tidak siap menghadapi hal ini. Mereka secara klasik memiliki persoalan yang terkait dengan soal keuangan, manajemen, teknologi dan kelemahan pasar. Untuk itu kelompok ini harus menjadi perhatian khusus LSM. Yang sering muncul bagi usaha kecil/pelaku ekonomi lemah adalah ungkapan bahwa menghadapi persaingan antar pengusaha/pelaku ekonomi dalam negeri saja sudah mengalami kesulitan, lebih-lebih bersaing dengan pengusaha/pelaku ekonomi luar negeri yang lebih besar.

Beberapa hal yang bisa diusahakan LSM, antara lain :
1. Mengembangkan daya saing. Para pelaku ekonomi rakyat dibantu agar mampu menghasilkan produk dan jasa dengan daya saing yang tinggi, sehingga harus berkualitas.

2. Membantu pelaku ekonomi rakyat melepaskan diri dari isolasi. Mereka harus masuk dalam jaringan pasar yang lebih luas dan untuk ini diperlukan kesiapan sumberdaya manusia yang mempunyai keberanian dan percaya diri.

Agar terwujud dua hal diatas, maka LSM perlu ikut mengupayakan adanya peningkatan sumberdaya manusia, serta perbaikan iklim usaha dan bekerja yangmampu menunjang kegiatan profesionalitas pelaku ekonomi rakyat tersebut.

Upaya peningkatan SDM tersebut dapat dibebankan pengembangannya kepada perusahaan besar dan pemerintah, dimana LSM menjadi jembatan antara mereka dengan pelaku ekonomi rakyat.

Ada baiknya bagi setiap perusahaan besar diwajibkan mengadakan pelatihan-pelatihan sebagai bagian dari kewajiban pengembangan dan peningkatan SDM suatu perusahaan bagi masyarakat di sekitarnya. Arah pelatihan terutama meliputi salah satu atau keseluruhan dari penguasaan teknologi, aset dan permodalan, peluang pasar, dan peningkatan kreativitas, prakarsa, keuletan berusaha, resiko usaha, dan manajemen usaha (Karsidi, 1999). Selain itu, sebagai fungsi layanan publik Pemda perlu memikirkan adanya layanan “pusat-pusat pelatihan” bagi warga yang tidak tertampung dalam suatu perusahaan, yang mudah diakses oleh pelaku ekonomi rakyat guna membantu mengembangkan usahanya. Pusat-pusat magang juga perlu diselenggarakan dan disupport agar mudah memberikan layanan pendidikan/latihan bagi yang memerlukan.

3. Untuk menjaga independensi LSM, maka LSM seharusnya juga mengembangkan kemandirian kelembagaan dengan merintis sumber-sumber pendapatan lembaga yang menjamin pada keberlanjutan (sustainability) kegiatan mereka. Pemaknaan “LSM sebagai lembaga non-profit” harus dimengerti bukan berarti tidak boleh melakukan usaha-usaha demi kelangsungan hidup lembaganya atau hanya melulu tergantung dari sumber lain.



Sumber:
http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/18730702200612251.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Swadaya_Masyarakat

Peta Perekonomian Indonesia

C. Sumber Daya Manusia

Jika tengok sejarah mengenai pertumbuhan penduduk di Indonesia sebelum Orde Baru, pertumbuhan penduduk di Indonesia masih cukup tinggi lebih kurang 2,8%. Dan setelah pemerintahan Orde baru menyadaribahwa pertumbuhan tersebut harus dikurangi, maka mulai Repelita I sampai dengan Repelita IV, pertumbuhan penduduk kita hanya berkisar antara 2,1% sampai dengan 2,3% dan 1,9% diperkirakan untuk Repelita selanjutnya.

Sebagai salah satu Negara yang masih berkembang, Indonesia memang menghadapi masalah sumber daya manusia diantaranya:
Pertumbuhan penduduk yang masih tinggi.
Penyebaran yang kurang merata.
Kurang seimbangnya struktur dan komposisi umur penduduk, yang ditanmdai dengan besarnya jumlah penduduk yang berusia muda serta mutu penduduk yang masih relatif rendah.

Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menimbulkan banyak masalah bagi negara, jika tidak diikuti dengan peningkatan produksi, dan efisiensi di bidang lainnya. Banyak penduduk akan menambah sumber daya produktif terhadap sumber daya manusia yang belum produktif(anak-anak, manula, pengganguran), yang akibat lanjutnya akan menciptakan masalah-masalah sosial yang cukup rumit. Adapun tindakan-tindakan yang dapat dan telah dilakukan pemerintah adalah:

1. Melaksanakan program keluarga berencana. Dengan program ini diharapkan laju pertumbuhan akan lebih dapat dikendalikan. Dengan program ini pula pemerintah ingin menjelaskan dan membuka kesadaran bahwa 'banyak anak'akan memberi konsekuensi ekonomis yang lebih berat. Secara tidak langsung program keluarga berencana ini ingin memprioritaskan segi kualitas anak, dibanding segi kuantitas.

2. Meningkatkan mutu sumber daya manusia (dengan pendididikan formal maupun informal) yang telah ada, sehingga dapat menunjang peningkatan produktifitas guna mengimbangi laju pertumbuhan penduduknya.


Penyebaran penduduk yang tidak merata menyebabkan tidak seimabngnya kekuatan ekonomi secara umum. Akibat lanjutnya adalah terjadinya ketimpangan daerah miskin dan daerah kaya. Daerah yang tampak menguntungkan (khusus Pulau Jawa) akan menjadi serbuan dan perpindahan penduduk dari daerah lainnya. Akibatnya daerah di luar pulau jawa yang memang telah ketinggalan dari segiekonomi, menjadi semakin tertinggal.

Tidak seimbangnya beban penduduk antar daerah itu akan berdampak terpusatnya modal di daerah tertentu saja. Dampak lainnya adalah mengumpulnya tenaga kerja di Pulau Jawa sehingga persaingan tenaga kerja(penawaran) sangat tinggi. Dengan kondisi tersebut bisa dilihatbahwa upah tenaga kerja akan menjadi rendah (sesuai dengan hukum penawaran). Rendahnya tingkat upah akan berakibat timbulnya kesengsaraan dan pengganguran, dan tentu saja masalah kriminalitas akan semakin menggejala. Sebaliknya di luar Pulau Jawa akan terjadi kekurangan tenaga kerja sehingga upah akan tinggi. Hal inilah yang menyebabkan biaya produksi di luar Pulau Jawa sangat tinggi, begiti pula dengan biaya transportasi. Maka secara tidak langsung kondisi ini akan menyebabkan tururnya pertumbuhan Industri dan secara otomatis akan menghambat pertumbuhan ekonomi secara nasional. Tindakan yang dapat dan telah dilakukan pemerintah adalah:
·
Penyelenggaraan program transmigrasi, sehingga akan jadi pemerataan sumber daya kedaerah-daerah yang masih membeutuhkan. Dengan program ini diharapkan para peserta transmigran dapat meninggalkan ketidakproduktifan mereka, justru mereka mempunyai kesempatan memperbaiki ekonomi mereka dengan mengembangkan daerah baru yang mereka tempati. Suatu pekerjaan yang tidak mudah, namun juga suatu hal yang tidak mustahil untuk berhasil.
·
Memperbaiki dan menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan baru di daerah-daerah tertinggal. Sehingga penduduk sekitar tidak perlu ke kota atau Pulau jawa untuk bisa bekerja. Dengan demikian arus urbanisasi dari desa ke kota, dari luar pulau Jawa dapat dikurangi. Di dalam GBHN sendiri perluasan dan pemerataan lapangan pekerjaan serta mutu dan perlindungan tenaga kerja merupakan kebijaksanaan pokok yang sifatnya menyeluruh di semua sektor. Perogram-program pembangunan sektoral atau regional perlu selalu mengusahakan terciptanya perluasan kesempatan kerja sebanyak mungkin, sehingga dapat meningkatkan produksi.

Komposisi penduduk yang tidak seimbang dapat menimbulkan proses regenerasi kegiatan produksi menjadi tidak lancar. Akibantnya ada masa tunggu yang semestinya tidak perlu terjadi, karena kebutuhan hidup 'tidak bisa' menerima istilah tunggu. Dengan demikian perlu dilakukan tindakan secepatnya untuk membekali dan mempersiapkan tenaga-tenaga kerja muda di Indonesia dengan pendidikan formal maupun informal, dengan ketrampilan dan pengetahuan yang tidak mendesak. Langkah-langkah yang akan dan telah ditempuh pemerintah untuk mengatasi hal ini adalah;
Meninjau kembali sistem pendidikan di Indonesia yang masih bersifat umum, untuk dapat lebih disesuaikan dengan disiplin ilmu khusus yang lebihnsesuai dengan tuntutan pembangunan. Sehingga lulusan yang dihasilkan yang siap kerja dan bukannya 'siap latih kembali'
Menciptakan sarana dan prasarana pendidikan yang lebih mendukung.

Adapun sasaran kebijaksanaan tenaga kerja di Indonesia meliputi hal-hal;
Memperluas lapangan pekerjaan untuk dapat menyerap pertambahan angkatan kerja baru dan mengurangi tingkat pengangguran.
Membina angkatan kerja baru yang memasuki pasar melalui latihan ketrampilan untuk berusaha sendiri maupun mengisi lapangan pekerjaan yang tersedia.
Membina dan melindungi para pekerja melalui mekanisme hubungan kerja yang di jiwai oleh Pancasila dan UUD 1945 (Hubungan Industrial Pancasila), memperbaiki kondisi-kondisi dan lingkungan kerja agar sehat dan aman serta meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Meningkatkan peran pasar kerja, agar penyaluran, penyebaran dan pemanfaatan tenaga kerja dapat menunjang kegiatan pembangunan.
Memperlambat laju pertumbuhan penduduk dan meningkatkan mutu tenaga kerja melalui usaha pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia sebagai bagian dari perencanaan tenaga kerja terpadu.



Sumber:http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/perekonomian_indonesia/bab3-peta_perekonomian_indonesia.pdf

Peta Perekonomian Indonesia

B. Mata Pencaharian

Dari keseluruhan wilayah yang dimiliki Indonesia, dapat ditarik beberapa hal diantaranya bahwa:

Pertama, mata pencaharian penduduk Indonesiasebagian besar masih berada disektor pertanian (agraris), yang tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian seperti pertanaian, perikanan, peternakan dan sejenisnya.




Kedua, kontribusi sektor pertanian terhadap GDP (Gross Domestic Product) secara absolut masih dominan, namun jika dibandingkan dengan sektor-sektor di luar pertanian menampakkan adanya penurunan dalam prosentase.




Yang perlu diwaspadai dalam sektor pertanian ini adalah, bahwa komoditi yang dihasilkan dari sektor ini relatif tidak memiliki nilai tambah yang tinggi, sehingga tidak dapat bersaing dengan komoditi yang dihasilkan sektor lain (misalnya industri), sehingga sebagian masyarakat Indonesia yang memang bermata poencaharian di sektor pertanaian (desa) semakin tertinggal rekannya yang bekerja dan emmiliki akses disektor industri (kota). Jika ini tidak segera ditindak lanjuti, maka akan menjadi benar Teori Ketergantungan, bahwa Spread Effect (kekuatan menyebar) akan selalu lebih kecil dari back- wash effect (mengalirnya sumber daya dari daerah miskin ke daerah kaya)

Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah ini diantaranya adalah;
Memperbaiki kehidupan penduduk/petani dengan pola pembinaan dan pembangunan sarana dan prasarananya dalam bidang pertanian.
Meningkatkan nilai tambah komoditi pertanian, jika dimungkinkan tidak hanya untuk pasar likal saja.
Mencoba mengembangkan kegiatan agrobisnis.
Menunjang kegiatan Transmigrasi.



Sumber:http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/perekonomian_indonesia/bab3-peta_perekonomian_indonesia.pdf

Peta Perekonomian Indonesia

A. Letak Geografis Indonesia

Kenyataan pertama yang harus diakui adalah bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan, dengan luas keseluruhan lebih kurang 195.000.000 sampai dengan 200.000.000 juta Ha. keadaan demikian dapat menjadi suatu kekuatan dan kesempatan bagi perkembangan perekonomian kita, dan sebaliknya dapat menjadi kelemahan bagi perekonomian kita.



Letak astronomis Indonesia Terletak di antara 6oLU – 11oLS dan 95oBT – 141oBT Berdasarkan letak astronomisnya Indonesia dilalui oleh garis equator, yaitu garis khayal pada peta atau globe yang membagi bumi menjadi dua bagian sama besarnya. Garis equator atau garis khatulistiwa terletak pada garis lintang 0o.

Banyaknya pulau akan menjadi kekuatan dan kesempatan, jika pulau-pulau yang sebagian besar merupakan kepulauan yang subur dan kaya akan hasil-hasil bumi dan tambang, dapat diolah dengan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat banyak. Dengan kemampuan menggali dan memanfaatkan kekayaan alam yang ada di Indonesia akan banyak memiliki pilihan produk yang dapat dikembangnya sebagai komoditi perdagangan, baik untuk pasar lokal maupun untuk pasar Internasional. Dan dengan keindahan dan keanekaragaman budaya kepulaun tersebut dapat menjadi sumber penerimaan negara andalan melalui industri pariwisata.

Namun kenyataan itu juga dapat menjadi kelemahan dan ancaman bagi perekonomian Indonesia, jika sumber daya yang ada di setiap pulau hanya dinikmati oleh sebagian masyarakat saja. Demikian pula juga jika masih banyak pihak luar yang secara ilegal mengambil kekayaan alam Indonesia di berbagai kepulauan, yang secara geografis memang sulit untuk dilakukan pengawasan seperti biasa. Dengan demikian dituntut koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mengamankan kepulauan Indonesia tersebut dari pihak-pihak yang tidak berhak mendapatkannya. Dipihak lain, banyak dan luasnya pulau menuntut suatu bentuk perencanaan dan strategi pembangunan yang cocok dengan keadaan geografis Indonesia tersebut. Strategi berwawasan ruang yang diterapkan pemerintah tampaknya sudah cukup tepat untuk mengatasi ini.

Kenyataan kedua adalah, bahwa Indonesia hanya mengenal dua musim. Dengan kondisi iklim yang demikian itu menyebabkan beberapa produk hasil bumi dan indusri menjadi sangat spesifik sifatnya. Dengan demikian diperlukan usaha untuk memanfaatkan keunikan produk Indonesia tersebut untuk memenangkan persaingan di pasar lokal maupun dunia.

Kenyataan ketiga adalah, negara Indonesia kaya akan bahan tambang, dan seperti setelah sejarah buktikan, salah satu jenis tambang kita, yakni minyak bumi pernah menjadikan negara Indonesia memperoleh dana pembangunan yang sangat besar, sehingga pada saat itu target pertumbuhan ekonomi kita 'berani' ditetapkan sebesar 7,5% (masa Repelita II ). Meskipun saat ini minyak bumi tidak lagi menjadi primadona dan andalan komoditi ekspor Indonesia, namun Indonesia masih banyak memiliki hasil tambang yang dapat menggantikan peran minyak bumi sebagai salah satu sumber devisa negara.

Kenyataan keempat adalah, bahwa wilayah Indonesia menempati posisis yang sangat strategis, terletak diantara dua benua dan benua samudra dengan segala perkembangannya. Sejak sebelum kemerdekaan -pun Indonesia telah menjadi tempat singgah dan transaksi antar kedua benua dan benua-benua lainnya. Dengan letak yang sangat strategis tersebut kita harus dapat memanfaatkannya, sedemikian rupa sehingga lalu lintas ekonomi yang terjadi, akan singgah dan membawa dampak positif bagi kebaikan perekonomian Indonesia. Yang perlu dilakukan tentunya mempersiapkan segala sesuatu, seperti sarana telekomunikasi, perdagangan, pelabuhan laut, udara serta infrastruktur lainnya.



Sumber: http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/perekonomian_indonesia/bab3-peta_perekonomian_indonesia.pdf

Rencana Pembangunan Indonesia

Gambaran yang lebih jelas tentang arah yang dituju dalam pembangunan Indonesia dapat dibaca dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Dalam RPJPN tersebut telah ditetapkan bahwa visi pembangunan adalah “Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur”. “Mandiri” artinya mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. “Maju” dapat diukur dari kualitas SDM, tingkat kemakmuran, kemantapan sistem dan kelembagaan politik dan hukum. Sedangkan “Adil” dicerminkan oleh tidak adanya diskrimasi dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender, maupun wilayah. Sementara “Makmur” dapat diukur dari tingkat pemenuhan seluruh kebutuhan hidup.

Di berbagai negara, seperti Cina, tingkat kemakmuran bisa dikelompokkan menjadi 4, yang indikatornya adalah rasio pengeluaran untuk makanan dari total pengeluaran. Apabila rasio pengeluaran untuk makanan diatas 60% dari total pengeluaran, maka komunitas tersebut tergolong “miskin”. Apabila rasionya antara 50% - 60% dari total pengeluaran, maka komunitas tersebut tergolong “hampir miskin” atau “hanya cukup makan dan pakaian”. Apabila rasionya antara 40% - 50%, maka komunitas tersebut tergolong “relatif makmur”. Sedangkan bila rasionya sudah dibawah 60% dari total pengeluaran, maka komunitas tersebut tergolong “makmur”. Mengacu kepada tolok ukur diatas, sebenarnya masing-masing kita dapat mengira-ngira sendiri termasuk golongan yang mana.

Sebagai informasi, rasio mengeluaran penduduk Cina untuk makanan dari total pengeluaran pada tahun 1978 adalah 57,5% di pedesaan dan 67,7% di perkotaan. Angka tersebut turun menjadi 43,0% di pedesaan dan 35,8% di perkotaan pada tahun 2006 (Bahan Seminar on Economic Administration for Asian Countries, 2008). Artinya penduduk Cina di pedesaan pada saat ini telah relatif makmur, dan di perkotaan sudah makmur.

Selanjutnya, bagaimana di Indonesia ? Dalam RPJPN 2005 – 2025 juga telah ditetapkan misi pembangunan sebagai berikut :

1. Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.
2. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
3. Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum.
4. Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu.
5. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan.
6. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari.
7. Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.
8. Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.

Untuk mencapai misi tersebut, telah ditetapkan pula 4 tahapan pembangunannya, yaitu :

1. Dalam RPJMN 1 (2005 – 2009) dilakukan penataan kembali NKRI, membangun Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
2. RPJMN 2 (2010 – 2014) ditujukan untuk memantapkan penataan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan iptek, dan memperkuat daya saing perekonomian.
3. Sedangkan target dalam RPJMN 3 (2015 – 2019) adalah memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan iptek.
4. Pada tahapan terakhir, RPJMN 4 (2020 – 2024) diharapkan terwujudnya masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui percepatan pembangunan di segala bidang dengan struktur perekonomian yang kokoh belandaskan keunggulan kompetitif.

Dalam pembangunan daya saing bangsa, RPJPN 2005 – 2025 menetapkan arahnya sebagai berikut :

1. Pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas.
2. Penguatan perekonomian domestik dengan orientasi dan berdaya saing global.
3. Penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan iptek.
4. Pembangunan sarana dan prasarana yang memadai dan maju.
5. Reformasi hukum dan birokrasi.


Tantangan

Dalam melaksanakan pembangunan, berbagai tantangan sudah, sedang akan kita dihadapi. Misalnya di bidang perekonomian kita menglami kemajuan, namun dalam tahun-tahun terakhir mengalami tekanan karena terjadinya krisis ekonomi global. Tantangan utamanya adalah menjaga stabilitas dan pemulihan ekonomi. Sebagaimana dilaporkan oleh Bappenas bahwa pertumbuhan ekonomi kita turun dari 6,3% pada tahun 2007 menjadi 6,1% pada 2008, dan diprediksi menjadi 4 – 4,5% pda 2009. Sementara inflasi naik dari 6,6% pada 2006 dan 2007 menjadi 11,1% pada 2008, meskipun angka pada 2008 masih lebih rendah dari inflasi tahun 2005 sebesar 17,1%.

Tingkat pengangguran memang telah menurun, namun masih relatif tinggi, yaitu sebanyak 9,39 juta orang atau 8,39% pada Agustus 2008. Demikian juga halnya dengan kemiskinan, meskipun terus menurun, namun angkanya masih relatif tinggi yitu 35 juta atau 15,4% pada Maret 2008. Oleh karena itu upaya untuk menekan angka pengangguran dan angka kemiskinan ini masih perlu ditingkatkan.

Upaya untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan dan kesehatan, perlu terus dilaksanakan. Meskipun data BPS menjunjukkan usia harapan hidup (UHH) telah meningkat menjadi 70,5 tahun, angka kematian ibu (AKI) 228 per 100.000 kelahiran hidup, angka kematian bayi 34 per 1.000 kelahiran hidup, dan gizi kurang menjadi 18,45%, namun masih terjadi kesenjangan status kesehtan antar kelompok sosial ekonomi dan antar provinsi.

Kemajuan dalam kemandirian pangan perlu dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus meningkat. Pada tahun 2008, produksi padi kita meningkat 5,4% menjadi sebesr 60,3 juta ton gabah kering giling (GKG). Disamping itu, upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi juga perlu terus ditingkatkan, misalnya dengan meningkatkan pemakaian sumber energi yang akrab lingkungan seperti panas bumi dan bahan bakar nabati (BBN).

Daya saing kita dan dukungan infrastruktur terhadap daya saing juga perlu terus ditingkatkan karena sampai saat ini (2009) kita berada pada ranking 127 dari 181 negara menurut Doing Bussiness Survey. Sedangkan menurut Global Competitiveness Index (GCI) tahun 2008-2009 kita berada pada ranking 55 dari 134 negara. Sementara menurut Institute for Managemen Development (IMD) World Competitiveness, kita berada pada rangking 51 dari 55 negara. Demikian juga halnya dengan daya saing infrastruktur kita yang berada pada pada urutan 96, untuk jalan di urutan ke 105, dan untuk pelabuhan berada di uruatan 104 dari 134 negara.

Tantangan dalam bidang Polhukam juga perlu mendapat perhatian yang serius. Kepastian hukum masih perlu penataan yang lebih baik, dan pelaksanaan demokrsi masih perlu dimantapkan. Sementara stabilitas keamanan dan kemampuan pertahanan perlu ditingkatkan, karena belum mencapai minimum essential force, terjadi penurunan efek penggentar.

Di bidang lingkungan kita juga menghadapi tantangan yang tidak ringan, antara lain masih tingginya laju kerusakan hutan yang mencapai 1,08 juta hektar per tahun. Konflik pemanfaatan ruang antar sektor juga perlu mendapatkan perhatian. Kita juga perlu mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya kelautan untuk pembangunan ekonomi nasional. Disamping itu dampak global warming juga perlu ditangani dengan serius. Dalam periode 2003 – 2005 terjadi lebih dari 1.300 bencana dan 53% diantaranya terkait hydro metrologi (34% banjir dan 16% tanah longsr). Selama tahun El-nino 1994, 1997, 2002, 2003, 2004, dan 2006 terdapat 8 bendungan di pulau Jawa menghasilkan listrik dibawah normal. Kenaikan suhu di Indonesia selama 100 tahun : Palembang naik 4,60 C, Cilacap naik 340 C, dan Surabaya naik 3,20 C.

Selain itu, terjadi pula kesenjangan pembangunan dan kesenjangan kepadatan penduduk antar daerah yang peru diatasi. Misalnya, kepadatan penduduk di provinsi Jakarta adalah 13.344 jiwa per km2, jauh lebih besar dibanding provinsi Papua yang cuma 7 jiwa per km2.

Mengatasi kesenjangan ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Dulu, pada zaman Orde baru digiatkan program transmigrasi untuk mengurangi penduduk di pulau Jawa. Tetapi sampai sekarang, pulau Jawa masih didiami oleh sekitar 2/3 jumlah penduduk Indonesia.

Ada yang mengusulkan agar pembangunan di luar pulau Jawa lebih diprioritaskan, sehingga sentra-sentra ekonomi berpencar di berbagai daerah. Apabila lapangan pekerjaan telah tersebar di berbagai provinsi, di berbagai kabupaten, di berbagai kecamatan, maka pencari kerja beserta keluarganya pasti akan pindah ke sana untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Dengan demikian, tanpa program transmigrasi-pun masyarakat akan pindah sendiri ke luar pulau Jawa. (Catatan : Bahan tulisan ini, antara lain bersumber dari laporan Menneg PPN/Bappenas).



Sumber : Ibnu Purna / Hamid,http://www.setneg.go.id